Sebuah ruang untuk membahas berbagai macam persoalan. Mulai dari seni budaya, olahraga, politik, dan lain sebagainya
Rabu, 24 November 2010
Beatles yang Memikat Penikmat iTunes
Oleh: Mohammad Akbar
Perjalanan panjang pihak Apple untuk merilis karya-karya grup band legendaris The Beatles akhirnya berbuah manis juga. Dari pekan perdana penjualan di gerai musik virtual iTunes, lagu-lagu dari The Beatles ini telah terjual lebih dari dua juta. Selain itu lagi, lebih dari 450 ribu album ludes pula terjual secara global dari pekan perdananya.
Pihak Apple menyatakan dari 13 katalog album studio The Beatles yang dirilis pada pekan lalu itu album "Abbey Road" menjadi yang paling laris terjual secara digital. Tapi penjualan laris itu hanya untuk wilayah gerai iTunes di kawasan Amerika Serikat.
Walau menjadi yang terlaris, namun secara menyeluruh album kesebelas The Beatles yang pernah dirilis pada 1969 itu hanya mampu nangkring di urutan enam. Pencatatan penjualan itu sampai 22 November lalu.
Kemudian lagi "The Beatles Box Set" juga menjadi salah satu album laris yang terjual di iTunes. Dalam daftar tangga album penjualan di iTunes, album tersebut berada di urutan kesepuluh.
''Sementara "Here Comes the Sun" menjadi singel Beatles yang paling laris terjual. Sayangnya singel tersebut tidak masuk ke dalam daftar sepuluh besar pada pekan kemarin,'' demikian disampaikan pihak Apple.
Lantas bagaimana ekspansi karya-karya The Beatles yang ada di iTunes di luar kawasan Amerika? Sayangnya dari hasil laporan yang mengutip laman Reuters tersebut pihak Apple tidak merilis data penjualannya.
Katalog The Beatles ini telah dirilis di iTunes -- salah satu retailer musik digital terbesar dunia -- untuk kali pertama pada 16 November silam. Proses itu menuntaskan negosiasi bertahun-tahun yang telah dilakukan antara pendiri Apple Steve Jobs, perusahaan manajemen The Beatles dan perusahaan rekaman EMI.
Di gerai virtual iTunes ini, lagu-lagu Beatles dijual dengan harga 1,29 dolar AS per lagu. Sedangkan untuk album dobel harganya sebesar 19,90 dolar AS. Label Beatles EMI mengatakan pernjanjian iTunes-Beatles merupakan perjanjian ekslusif pada 2011. Tapi EMI menampik kontrak perjanjian ini bakal berakhir hanya sampai tahun depan saja.
Analis dari BGC Patners, Colin Gillis, menilai penjualan lagu-lagu Beatles ini sebagai upaya pihak Apple untuk lebih memperluas lagi ekspansi penjualan iPod. ''Terutama pada musim liburan ini penjualan iPod cukup penting dan rasanya penjualan hingga 20 juta iPod tentu tidak akan menyakitkan,'' ucap Gillis.
Sementara itu laporan dari laman Billboard yang dirilis Selasa waktu setempat, debut iTunes dari Fab Four -- sebutan lain dari personel grup band The Beatles -- ini ternyata lebih favorit dibandingkan dengan band-band lainnya dalam upaya bergabung pada proses revolusi penjualan musik digital.
Merujuk laporan Nielsen Soundscan, katalog band Led Zeppelin pada penjualan debut digitalnya pada November 2007, hanya memperoleh penjualan di wilayah Amerika sebanyak 47 ribu unit album serta 300 ribu lagu.
Tapi jika dibandingkan dengan karya-karya gres dari penyanyi R&B Rihanna maupun komedi musikal laris televisi Glee, karya The Beatles masih kalah bersaing.
Menurut Apple, album baru Loud milik Rihanna masih menjadi penjualan album terbaik pada pekan lalu di iTunes Amerika. Menyusul di belakangnya adalah karya dari Glee.
Label:
Apple,
Glee,
iTunes,
Led Zeppelin,
revolusi musik digital,
Rihanna,
The Beatles
Kamis, 04 November 2010
In the Name of God, Sebuah Refleksi terhadap Islam
Seperti apakah Islam di Pakistan? Adakah radikalisme itu menjadi pembenaran buat melakukan jihad? Lantas seperti apakah Islam memandang musik dan gaya berpakaian dalam keseharian?
Semua pertanyaan itu menjadi benang merah dari film asal Pakistan Khuda Kay Liye (In the Name of God) karya Shoaib Mansoor. Film yang akan beredar di bioskop nasional mulai 4 November ini meramu berbagai persoalan tentang Islam dan buntut dari aksi teror 11 September di menara kembar World Trade Centre (WTC) Amerika Serikat.
Meski isi ceritanya terkesan 'menggurui', namun film berdurasi hampir tiga jam ini mampu memberikan sebuah pencerahan dalam melihat Islam. Setidaknya, film ini bisa menjadi bentuk solusi bagi Barat dalam memandang Islam.
Dan menjadi lebih penting lagi, film ini menjadi sebuah lompatan besar buat industri perfilman Pakistan. Negara yang berbatasan dengan India ini secara kuantitas maupun teknologi boleh jadi masih tertinggal jauh oleh geliat industri Bollywood. Namun di tengah keterbatasan, film yang menjadi debut karya Shoaib ini telah cukup cerdas memberi pencerahan tentang Islam dan berbagai persoalan yang mengungkungnya.
Film ini memusatkan ceritanya pada tokoh kakak beradik, Mansoor (dimainkan oleh Shaan) dan Sarmad (Fawad Khan). Turut mendukung cerita ada Mary (Iman Ali), perempuan Pakistan berkewarganegaraan Inggris; dua ulama besar Pakistan -- Kyai Maulana Tahiri (Rasheed Naz) dan Kyai Maulana Wali (Naseeruddin Shah) -- serta Dave (Alex Edwards).
Kisah dari film ini dimulai dari kesedihan seorang perempuan bule di Chicago pada musim gugur 2002. Tak lama, film pun melompat mundur ke masa dua tahun sebelumnya. Sebuah gladi resik pertunjukkan musik tengah dipersiapkan untuk menyambut pergantian tahun 2000.
Mansoor dan Sarmad -- dua musisi kakak beradik -- tengah berlatih mempersiapkan diri. Tanpa disangka, persiapan itu berantakan karena diserang sekelompok pria berpakaian putih. Mereka merusak panggung dan melarang pertunjukkan tersebut.
Lalu cerita terus mengalir. Mansoor mengalami pergolakan hidup. Pertemuannya dengan kiai Maulana Tahiri mengubah pemahamannya tentang Islam. Ia memutuskan diri meninggalkan dunia musik. Ia juga mengubah penampilannya dengan memelihara jenggot serta mengenakan baju gamis.
Sebaliknya, Sarmad -- kakak dari Mansoor, melanjutkan kegemarannya terhadap musik. Ia terbang ke Amerika Serikat untuk mendalami pengetahuannya tentang musik. Dua kehidupan dari kakak beradik itu mulai menorehkan ceritanya.
Konflik Cerita Di sini, penonton harus menunggu sabar untuk menantikan hadirnya konflik dari film ini. Konflik itu lahir setelah terjadi penyerangan menara kembar WTC di Amerika. Negeri Paman Sam menjadi membabi buta dalam memerangi terorisme.
Sarmad yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan bule harus diciduk saat tertidur lelap. Ia dituduh terkait dengan kelompok Usamah bin Ladin. Dasar penangkapannya karena ditemukan semacam jimat yang biasa dijadikan kalung.
Jimat itu berbahasa Arab. Namun karena jimat itu ada memiliki tulisan menyerupai angka 9 dan 11 maka ditahanlah Sarmad tanpa melalui proses peradilan.
Sebaliknya, Mansoor juga harus menjalani pengasingan diri ke sebuah perkampungan tandus. Ia mengikuti titah sang guru dan pamannya untuk menikahi Mary. Mary sendiri sebenarnya telah memiliki pilihan hati saat tinggal di Inggris. Lelaki itu bernama Dave.
Pernikahan dilakukan secara paksa. Di tempat tandus itu, Mansoor juga berlatih perang. Pascaledakan WTC, ia 'terjebak' pada jihad dalam perang saudara. Ia tak setuju untuk membunuh. Tetapi ia terpaksa membunuh ketika nyawanya terancam. Namun ia menjadi galau karena pria yang dibunuhnya sebelum menghembuskan napas juga melafalkan dua kalimat syahadat.
Persoalan kian pelik. Terutama setelah Mary berhasil dibebaskan dari tempat pengasingannya yang tandus. Proses peradilan berjalan. Di sinilah dialog-dialog bernas terlahir. Sekaligus juga dalam persidangan ini dijabarkan bagaimana Islam memandang jihad, musik maupun gaya berpakaian yang disampaikan lewat sosok kiai Maulana Wali.
Di penghujung kisah, Shoaib ternyata cukup cerdas melemparkan otokritiknya dalam melihat pergulatan pemikiran yang sampai kini masih mengungkung umat muslim dunia. Ia menghadirkan Mansoor dengan berpakaian kasual. Saat ia melafazkan azan, kiai Maulana Tahiri menyuruh anak didiknya untuk mengambil mikropon. Dua pemuda muslim sama-sama melafazkan azan.
Namun lantunan yang sejatinya terasa merdu justru melahirkan alunan yang telah membuat burung-burung menjauhi masjid. Ah, sebuah metafora yang cukup apik dalam memotret persoalan Islam masa kini. n mohammad akbar
Langganan:
Postingan (Atom)