Beradu Kuat Merebut Film Hollywood
Film Hollywood jika digambarkan layaknya gula yang selalu menjadi incaran para semut. Gara-gara daya pikat film-film blockbuster dari negeri Paman Sam itu, kini perseteruan para pebisnis perbioskopan Tanah Air telah terpantik untuk saling merebut untung.
Perseteruan para pengusaha itu ternyata juga membawa pemerintah ke pusaran konflik. Presiden Komisaris Blitz Megaplex, AM Hendropriyono, menuding, pemerintah -- dalam hal ini Kementerian Budaya dan Pariwisata -- telah berperan dalam melanggengkan praktek monopoli.
Jika sebelum diboikotnya pemutaran film Hollywood di Tanah Air, klaim monopoli mengarah pada 21 dan XXI. Pengakuan ini sempat diakui oleh Menbudpar Jero Wacik pada jumpa pers yang dilakukannya pekan lalu di Gedung Sapta Pesona, Jakarta.
''Dulu memang (dikuasai) 100 persen. Tetapi sekarang 21 dan XXI hanya (menguasai) 80 persen saja (distribusi film impor),'' kata Jero Wacik.
Tapi setelah keran film Hollywood kembali dibuka -- hal ini ditandai dengan diputarnya film Transformers: Dark of the Moon dan Harry Potter and the Deathly Hallows Parts-2 -- masalah monopoli tetap saja menjadi kata yang tak pernah hilang dalam setiap perbincangan.
Tudingan monopoli itu muncul karena PT Omega -- perusahaan yang telah mendapat kepercayaan sebagai mitra major studio Hollywood -- dinilai masih satu baju dengan 'pemain lama' yang pernah melakukan praktek monopoli.
Raam Punjabi, produser dari Multivision Plus, mengatakan PT Omega dan 21 itu masih sama. Ia mengungkapkan, dirinya sudah pernah melakukan negosiasi dengan pihak MPAA (Motion Pictures Association of America).
''Dari pertemuan itu MPAA hanya mau memberikan film-filmnya kepada agennya yang memiliki gedung bioskop yang banyak saja. Nah itu artinya Omega dan 21 itu sudah ada satu bukti,'' ujarnya.
Namun tudingan Raam itu ditampik oleh Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin. Ia menyangkal jika praktek monopoli masih dilakukan oleh pemain lama.
Meski demikian Djonny mengakui untuk kepemilikan bioskop saat ini masih didominasi oleh pihak 21. Dari sekitar 676 layar yang tersebar di 210 bioskop, pihak 21 menguasai hampir 80 persen. Lalu Blitz memiliki sekitar 37 layar. ''Tapi Blitz bukan anggota kami,'' cetus Djonny.
Sedangkan dari pihak Blitz memberikan data yang berbeda kepada Republika. Dari tujuh lokasi, jumlah layar keseluruhan sebanyak 66 layar.
Nah mengapa persoalan dugaan monopoli ini bisa menjadi buah bibir yang begitu sengit dibahas? Ilham Bintang dalam sebuah percakapan kepada Republika pernah membeberkan gepokan rupiah yang berhasil diraup dari pengusaha bioskop ketika memutar film Hollywood.
Ilham mengungkapkan sepanjang tahun lalu pemasukan hasil penjualan tiket penonton bioskop nasional yang diterima dari penayangan film asing di Indonesia nilainya mencapai Rp780 miliar. Jumlah tersebut berasal dari 65 judul film.
''Tapi dari jumlah tersebut, pemerintah ternyata hanya mendapatkan penerimaan dalam bentuk pajak bea masuk sekitar Rp5 miliar saja,'' ujarnya.
Data itu juga kian diperkuat lagi ketika film-film Hollywood tidak ada diputar di bioskop nasional sekitar lima bulan terakhir. Pada periode tersebut, Djonny mengakui, telah terjadi penurunan pemasukan. Ia mengambil sampel di Jakarta. Penurunannya, kata dia, mencapai 60 persen.
Angka itu menyitir dari data Dinas Pendapatan Daerah Jakarta. Pada Januari pendapatan bersih pajak hiburan khusus dari bioskop di Jakarta mencapai Rp3,9 miliar. Angka itu didapat sebelum film Hollywood absen di bioskop nasional.
''Sedangkan pada Juni, angka yang didapat hanya ada sekitar Rp 1,8 miliar saja. Itu artinya film asing memang masih lebih menguntungkan dibanding film lokal bagi para pengusaha bioskop,'' ujar Djonny dalam perbincangannya melalui saluran telpon kepada Republika.
Film Hollywood jika digambarkan layaknya gula yang selalu menjadi incaran para semut. Gara-gara daya pikat film-film blockbuster dari negeri Paman Sam itu, kini perseteruan para pebisnis perbioskopan Tanah Air telah terpantik untuk saling merebut untung.
Perseteruan para pengusaha itu ternyata juga membawa pemerintah ke pusaran konflik. Presiden Komisaris Blitz Megaplex, AM Hendropriyono, menuding, pemerintah -- dalam hal ini Kementerian Budaya dan Pariwisata -- telah berperan dalam melanggengkan praktek monopoli.
Jika sebelum diboikotnya pemutaran film Hollywood di Tanah Air, klaim monopoli mengarah pada 21 dan XXI. Pengakuan ini sempat diakui oleh Menbudpar Jero Wacik pada jumpa pers yang dilakukannya pekan lalu di Gedung Sapta Pesona, Jakarta.
''Dulu memang (dikuasai) 100 persen. Tetapi sekarang 21 dan XXI hanya (menguasai) 80 persen saja (distribusi film impor),'' kata Jero Wacik.
Tapi setelah keran film Hollywood kembali dibuka -- hal ini ditandai dengan diputarnya film Transformers: Dark of the Moon dan Harry Potter and the Deathly Hallows Parts-2 -- masalah monopoli tetap saja menjadi kata yang tak pernah hilang dalam setiap perbincangan.
Tudingan monopoli itu muncul karena PT Omega -- perusahaan yang telah mendapat kepercayaan sebagai mitra major studio Hollywood -- dinilai masih satu baju dengan 'pemain lama' yang pernah melakukan praktek monopoli.
Raam Punjabi, produser dari Multivision Plus, mengatakan PT Omega dan 21 itu masih sama. Ia mengungkapkan, dirinya sudah pernah melakukan negosiasi dengan pihak MPAA (Motion Pictures Association of America).
''Dari pertemuan itu MPAA hanya mau memberikan film-filmnya kepada agennya yang memiliki gedung bioskop yang banyak saja. Nah itu artinya Omega dan 21 itu sudah ada satu bukti,'' ujarnya.
Namun tudingan Raam itu ditampik oleh Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin. Ia menyangkal jika praktek monopoli masih dilakukan oleh pemain lama.
Meski demikian Djonny mengakui untuk kepemilikan bioskop saat ini masih didominasi oleh pihak 21. Dari sekitar 676 layar yang tersebar di 210 bioskop, pihak 21 menguasai hampir 80 persen. Lalu Blitz memiliki sekitar 37 layar. ''Tapi Blitz bukan anggota kami,'' cetus Djonny.
Sedangkan dari pihak Blitz memberikan data yang berbeda kepada Republika. Dari tujuh lokasi, jumlah layar keseluruhan sebanyak 66 layar.
Nah mengapa persoalan dugaan monopoli ini bisa menjadi buah bibir yang begitu sengit dibahas? Ilham Bintang dalam sebuah percakapan kepada Republika pernah membeberkan gepokan rupiah yang berhasil diraup dari pengusaha bioskop ketika memutar film Hollywood.
Ilham mengungkapkan sepanjang tahun lalu pemasukan hasil penjualan tiket penonton bioskop nasional yang diterima dari penayangan film asing di Indonesia nilainya mencapai Rp780 miliar. Jumlah tersebut berasal dari 65 judul film.
''Tapi dari jumlah tersebut, pemerintah ternyata hanya mendapatkan penerimaan dalam bentuk pajak bea masuk sekitar Rp5 miliar saja,'' ujarnya.
Data itu juga kian diperkuat lagi ketika film-film Hollywood tidak ada diputar di bioskop nasional sekitar lima bulan terakhir. Pada periode tersebut, Djonny mengakui, telah terjadi penurunan pemasukan. Ia mengambil sampel di Jakarta. Penurunannya, kata dia, mencapai 60 persen.
Angka itu menyitir dari data Dinas Pendapatan Daerah Jakarta. Pada Januari pendapatan bersih pajak hiburan khusus dari bioskop di Jakarta mencapai Rp3,9 miliar. Angka itu didapat sebelum film Hollywood absen di bioskop nasional.
''Sedangkan pada Juni, angka yang didapat hanya ada sekitar Rp 1,8 miliar saja. Itu artinya film asing memang masih lebih menguntungkan dibanding film lokal bagi para pengusaha bioskop,'' ujar Djonny dalam perbincangannya melalui saluran telpon kepada Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar