Kamis, 11 Oktober 2012

Bunda Anny, Dari Sosialita Menjadi Pengasuh Anak Jalanan



Kulitnya tampak putih terawat. Bola matanya berwarna biru berkat softlens yang ia benamkan. Penampilannya juga tak kalah memikat, buat kaum lelaki utamanya.

Melihatnya selintas, rasanya tak akan pernah percaya kalau perempuan ini memiliki ketertarikan yang besar untuk mengurusi nasib anak jalanan. Tapi delapan bulan sudah ia menekuninya.

Setiap Sabtu sore, di sekitaran Kota Tua Jakarta, perempuan ini bisa ditemukan. Ia mengaku, begitu menikmati sisi lain kehidupannya saat mengajar ratusan anak jalanan di pelataran parkir Kota Tua.

Perempuan berjiwa besar ini bernama Anny Kusuma Dewi. Anak jalanan yang diasuh menyapanya bunda. Tak heran jika kini ia lebih suka disapa Bunda Anny.

Embel-embel bunda boleh saja mengesankannya sudah tua. Tapi perempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur, 34 tahun silam ini, rasanya masih terlalu hijau untuk dianggap tua. Jika Anda bersua wajah, kesan tua sekejap saja akan sirna.

''Dulu waktu baru punya anak, saya ingin sekali dipanggil ayah bunda. Tapi suami tidak setuju. Jadi kalau sekarang dipanggil bunda, saya merasa sangat senang,'' katanya.

Dari hasil pernikahannya dengan Didik Puguh Setiyono, Bunda Anny telah dianugerahkan tiga anak. Yang tertua berusia 15 tahun, bernama Mahendra Danny Setyoko. Berikutnya Wynna Dewi Melinda (13 tahun) dan Marcelino Danny Setyatmaja (7 tahun). ''Kalau yang ketiga itu bonus,'' candanya.

Soal kegemarannya mengajar anak jalanan, Bunda Anny bercerita. Awalnya muncul anggapan skeptis dari teman kongkow sesama sosialita. Anny dianggap tak akan mampu melakoninya. Hatinya terlecut, jiwanya termotivasi. ''Syukurlah ternyata saya bisa berjalan sampai sekarang mengajar anak-anak jalanan,'' ujarnya sambil melepaskan senyuman.

Sosialita? Ya, dahulu ia memang menjadi bagian dari lingkaran kaum sosialita Jakarta. Hampir tiap pekan ia habiskan waktunya secara percuma. Ia terbiasa membunuh waktu hanya dengan berarisan, ngopi di cafe atau pergi shopping ke mall. ''Kalau dulu dalam satu hari, saya sama teman-teman sosialita bisa pindah-pindah sampai tiga tempat,'' kenangnya.

Kini, sudah hampir dua tahun Bunda Anny memberi jarak kepada komunitas sosialitanya. Kebiasaan lamanya kini berubah. ''Sekarang saya menemukan kehidupan yang menarik dan penuh bobot,'' ujarnya.



Setiap Sabtu, Bunda Anny tak hanya seorang diri mengajar di emperan parkir Kota Tua. Lewat Yayasan Tri Kusuma Bangsa yang dipimpinnya, ia juga membuka diri menerima para volunteer yang ingin turutserta mengajar anak jalanan. Hingga kini, ia mendata, sudah ada sekitar 150 volunteer yang terlibat. Latar belakang profesi para volunteer itu juga cukup beragam.

Bunda Anny mengatakan, dalam tiap pekan memang tidak semua volunteer itu hadir. Ia menakar ada sekitar 20 volunteer saja. Mereka mengajar anak-anak jalanan dari usia balita hingga belia. Anak-anak jalanan itu dibagi ke dalam tiga kelompok.

Untuk kelompok Bintang berisikan anak-anak jalanan setingkat dengan pendidikan di play group atau TK. Lalu ada juga kelompok Bulan. Kelompok ini dihuni anak-anak yang sudah berada di kelas 1-3 SD. Berikutnya kelompok Matahari dengan anak-anak yang berada di kelas 4-6 SD.

Materi pengajaran yang diberikan adalah pengetahuan umum dan agama. Ada bahasa Inggris, bahasa Indonesia, matematika, menggambar hingga belajar mengaji. ''Semuanya kita lakukan secara gratis,'' katanya.

Lantas apa yang sebenarnya hendak dicari Bunda Anny dengan mendidik anak jalanan secara gratis? ''Saya ingin berbuat sesuatu buat sekeliling. Itu saja. Kebetulan mendidik anak-anak memang sudah menjadi keinginan saya sejak lama,'' ucapnya.

Lalu adakah sosok yang menginspirasinya menjadi seorang filantropis? Ia menyebut neneknya, Mbah Sarno Putri. Semasa ia kecil, ia melihat sang nenek selalu menyisihkan sebagian makanan kepada orang lain.

''Kebetulan beliau itu punya rumah makan dan setiap hari saya melihat nenek itu suka sekali memberi makan kepada orang. Itulah yang membuat saya tergerak untuk mengajar anak-anak jalanan,'' katanya.


Melihat Cinta lewat Senandung 'Sudirman Sujono'



Jika suatu nanti, kakekmu tlah pergi
Siapa yang akan menanam padi...?
Jika suatu nanti engkau telah dewasa...
Hijaukah tanah ini ?    
Suburkah tanah ini ? 
Masihkah tanah ini ?

Penggalan bait ini sebenarnya tak hanya sekedar menyampaikan sederet pertanyaan saja. Ada makna yang sejatinya hendak disiratkan. Berawal dari pertanyaan sederhana dari seorang kakek kepada cucunya.

Ah, tulisan ini tak ada maksud untuk menggurui, apalagi memprovokasi. Tulisan ini hanyalah ingin mengajak kita berefleksi barang sejenak tentang nasib petani kecil di negeri ini. Medium kritis yang hendak disajikan bukanlah lewat diskusi, melainkan melalui sebuah lagu.

Bait di atas merupakan sepenggal lirik dari lagu 'Sudirman Sujono - Dibawa Kemana Negeri Ini'. Lagu ini merupakan sekuel pertama dari empat karya yang dilahirkan oleh duo Nagasasra. Saya menyebutnya duo karena personelnya memang hanya ada dua, Mas Amin dan Pak Wahono.

Buat saya, lagu ini memiliki dua kekuatan besar. Pertama, terletak pada liriknya. Jika sudut pandangnya merujuk pada selera industri, saya yakin lagu yang disajikan oleh Nagasasra ini hanya akan menjadi tumpukan CD di meja para music director.

Padahal jika menyelami makna dari lagu ini, tetaplah ada cerita tentang cinta yang menyelinap. Tetapi cinta di sini bukanlah bermakna 'murahan' yang hanya sekedar bentuk pelampiasan nafsu para ABG. Tapi cinta yang hendak disajikan lewat lagu sekuel pertama Nagasasra ini pada dasarnya ingin mengajak kita menemukan makna dan hakikat cinta itu sendiri.

Kakek yang bercerita kepada cucunya hanyalah simbolisasi dari arti kecintaan yang sebenarnya. Tengoklah, betapa arifnya sang kakek yang mengajak cucunya makan di pematang sawah sambil bercerita. Jika berkaca pada masa kini, ini menjadi hal yang terasa absurd karena masih adakah anak-anak kecil yang saat ini mendapat cerita dari kakeknya di pematang sawah?

Lalu di penghujung cerita, sang kakek melemparkan sebuah pertanyaan mendasar. ''Jika suatu nanti, kakekmu tlah pergi/ Siapa yang akan menanam padi...?'' Bukankah ini satu pertanyaan yang menggelitik tentang kerisauan seorang petani tua terhadap kelanjutan masa depan profesinya?

Profesi? Ya, saya menyebut sang kakek telah menjadikan peran sebagai petani sebagai sebuah profesi. Karena dari membajak tanah hingga mengurus tanaman selama berbulan-bulan itulah maka periuk dapur keluarga sang kakek masih bisa terus berasap. Sekali lagi pertanyaan sang kakek ini, jika direnungi menjadi bentuk kecintaan akan profesi sebagai petani.

Bagi sang kakek, menjadi petani merupakan panggilan jiwa. Ia sadar, di saat tanah yang diolah bukanlah miliknya, ada rasa gundah yang menyelimuti hatinya. Tat kala tanah tak lagi subur maka di saat itu pula profesinya sebagai petani dipertaruhkan kelanjutannya.

Lalu kekuatan kedua dari lagu ini terdapat pada aransemen musiknya. Lagu yang beraroma ballad ini terasa sangat hidup ketika dimainkan secara akustik. Tentu, jika saat live menambahkan instrumentasi alat musik gesek, kekuatan lagu ini akan semakin mampu menusuk ke gendang telinga para pendengarnya.

Mas Amin mengakui jika dirinya cukup banyak terinspirasi dari musisi semacam Leo Kristi. Tetapi musik yang ia kemas sebenarnya bukanlah bentuk duplikasi mentah dari idolanya. Nagasara ternyata punya nyawa sendiri lewat alunan akustikannya yang ceria.