Jika suatu nanti, kakekmu tlah pergi
Siapa yang akan menanam padi...?
Jika suatu nanti engkau telah dewasa...
Hijaukah tanah ini ?
Suburkah tanah ini ?
Masihkah tanah ini ?
Penggalan bait ini sebenarnya tak hanya sekedar menyampaikan sederet pertanyaan saja. Ada makna yang sejatinya hendak disiratkan. Berawal dari pertanyaan sederhana dari seorang kakek kepada cucunya.
Ah, tulisan ini tak ada maksud untuk menggurui, apalagi memprovokasi. Tulisan ini hanyalah ingin mengajak kita berefleksi barang sejenak tentang nasib petani kecil di negeri ini. Medium kritis yang hendak disajikan bukanlah lewat diskusi, melainkan melalui sebuah lagu.
Bait di atas merupakan sepenggal lirik dari lagu 'Sudirman Sujono - Dibawa Kemana Negeri Ini'. Lagu ini merupakan sekuel pertama dari empat karya yang dilahirkan oleh duo Nagasasra. Saya menyebutnya duo karena personelnya memang hanya ada dua, Mas Amin dan Pak Wahono.
Buat saya, lagu ini memiliki dua kekuatan besar. Pertama, terletak pada liriknya. Jika sudut pandangnya merujuk pada selera industri, saya yakin lagu yang disajikan oleh Nagasasra ini hanya akan menjadi tumpukan CD di meja para music director.
Padahal jika menyelami makna dari lagu ini, tetaplah ada cerita tentang cinta yang menyelinap. Tetapi cinta di sini bukanlah bermakna 'murahan' yang hanya sekedar bentuk pelampiasan nafsu para ABG. Tapi cinta yang hendak disajikan lewat lagu sekuel pertama Nagasasra ini pada dasarnya ingin mengajak kita menemukan makna dan hakikat cinta itu sendiri.
Kakek yang bercerita kepada cucunya hanyalah simbolisasi dari arti kecintaan yang sebenarnya. Tengoklah, betapa arifnya sang kakek yang mengajak cucunya makan di pematang sawah sambil bercerita. Jika berkaca pada masa kini, ini menjadi hal yang terasa absurd karena masih adakah anak-anak kecil yang saat ini mendapat cerita dari kakeknya di pematang sawah?
Lalu di penghujung cerita, sang kakek melemparkan sebuah pertanyaan mendasar. ''Jika suatu nanti, kakekmu tlah pergi/ Siapa yang akan menanam padi...?'' Bukankah ini satu pertanyaan yang menggelitik tentang kerisauan seorang petani tua terhadap kelanjutan masa depan profesinya?
Profesi? Ya, saya menyebut sang kakek telah menjadikan peran sebagai petani sebagai sebuah profesi. Karena dari membajak tanah hingga mengurus tanaman selama berbulan-bulan itulah maka periuk dapur keluarga sang kakek masih bisa terus berasap. Sekali lagi pertanyaan sang kakek ini, jika direnungi menjadi bentuk kecintaan akan profesi sebagai petani.
Bagi sang kakek, menjadi petani merupakan panggilan jiwa. Ia sadar, di saat tanah yang diolah bukanlah miliknya, ada rasa gundah yang menyelimuti hatinya. Tat kala tanah tak lagi subur maka di saat itu pula profesinya sebagai petani dipertaruhkan kelanjutannya.
Lalu kekuatan kedua dari lagu ini terdapat pada aransemen musiknya. Lagu yang beraroma ballad ini terasa sangat hidup ketika dimainkan secara akustik. Tentu, jika saat live menambahkan instrumentasi alat musik gesek, kekuatan lagu ini akan semakin mampu menusuk ke gendang telinga para pendengarnya.
Mas Amin mengakui jika dirinya cukup banyak terinspirasi dari musisi semacam Leo Kristi. Tetapi musik yang ia kemas sebenarnya bukanlah bentuk duplikasi mentah dari idolanya. Nagasara ternyata punya nyawa sendiri lewat alunan akustikannya yang ceria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar