Minggu, 06 September 2009

RUU Film Dianggap Kekang Kebebasan Berekspresi

JAKARTA--Rancangan Undang-Undang (RUU) Film yang kini tengah siap disahkan di DPR dinilai sangat mengekang kebebasan berekspresi. Pengesahan UU ini dikhawatirkan juga akan membawa industri film Indonesia menjadi kolaps. ''Segala hal yang bersifat terburu-buru serta tidak mengakomodasi kepentingan mayoritas maka tidak akan ada manfaatnya,'' kata Noorca M Massardi, salah satu ketua dari Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) di Jakarta, Sabtu (5/9).

Noorca menyebut, penolakan terhadap RUU ini juga menjadi keputusan bulat dari seluruh pelaku industri film seperti sutradara, produser, aktor hingga kru film. ''Lebih dari 250 orang sudah menyatakan penentangannya terhadap RUU ini, apakah masih akan tetap jalan terus,'' ujar Noorca yang juga menjadi salah satu pengurus di tubuh jaringan bioskop 21 Cineplex Grup ini menandaskan.

Ketua Umum GPBSI, Djonny Syafruddin, juga menandaskan selama ini pihaknya baru sekali diajak konsultasi dalam perumusan rancangan undang-undang. ''Mereka (pemerintah dan DPR) hanya basa basi saja, sementara masukan yang kita sampaikan tidak ada digunakan dan tidak ada sama sekali melakukan diskusi,'' ujarnya.

Soal substansi keberatan pada RUU ini, Noorca dan Djonny menyatakan terletak pada seluruh kerangka acuan yang termaktub di dalam draft RUU. Noorca menampik jika protes yang dilakukannya karena berkaitan dengan pengaturan distribusi dan tataniaga film yang akan dikelola langsung oleh pemerintah. Dalam draft RUU per 2 September 2009 tertulis pada pasal 29 menteri nantinya menetapkan tata edar film untuk menjamin perlakuan yang adil. Poin ini muncul karena selama ini peredaran dan distribusi film ada dugaan dimonopoli oleh salah satu jaringan film.

Terhadap tudingan tersebut, Anitio, direksi dari jaringan bioskop 21, menyanggahnya. ''Undang-undang dibangun dari asumsi yang keliru. Bioskop daerah itu mati bukan karena tidak ada produser dan jaringan bioskop yang tidak mau menyuplai filmnya, tetapi karena penonton yang tidak ada dan pergeseran perilaku penonton yang selalu ingin bioskop menyatu dengan pusat perbelanjaan,'' ujarnya.

Bahkan perwakilan GPBSI dari Jawa Barat, Edison Nainggolan, memprediksikan jika RUU ini disahkan industri film nasional akan ambruk dalam dua tahun pascapengesahan. Edison menyebut tata edar yang dibuat oleh UU menjadi salah satu penyebabnya. ''Peristiwa semacam ini pernah terjadi ketika pemerintah memaksakan UU nomor 8 (film) yang pernah membuat mati suri industri film kita dahulu,'' tandasnya.

Sementara itu RUU yang telah mulai dibahas sejak lima tahun ini telah memasuki tahap panitia kerja di Komisi 10. Jika tidak aral melintang, draft akhir dari RUU ini akan disahkan Selasa (8/9) mendatang oleh lembaga legislatif. RUU ini hadir untuk menggantikan UU Film nomor 8 yang menjadi produk Orde Baru. akb/kpo
sumber: http://www.republika.co.id/berita/74463 RUU_Film_Dianggap_Kekang_Kebebasan_Berekspresi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar