Membicarakan soal pembajakan dan keadilan hak cipta bagi musisi rasanya tak akan pernah lepas dari sosok yang satu ini. James F Sundah namanya. Ayah satu anak ini adalah pencipta lagu Lilin Lilin Kecil yang pernah dipopulerkan mendiang Chrisye dan September Ceria miliknya Vina Panduwinata. Sekian tahun bergelut dengan industri musik, begitu banyak catatan yang disimpannya.
Mulai dari persoalan pembajakan yang digambarkannya seperti penyakit kanker yang sudah masuk ke stadium lima sampai pada pembagian royalti yang masih belum berpihak kepada para pencipta lagu. Tapi adakah rasa putus asa pada diri lelaki kelahiran Semarang, 1 Desember 1955 ini? Berikut petikan wawancara wartawan Republika Mohammad Akbar yang menemui James di tengah kesibukannya mempersiapkan sebuah karya buat anak-anak, Jumat (20/8) malam lalu di Jakarta.
Seberapa parahkah masalah pembajakan ini terjadi di industri musik Indonesia?
Kalau kita melihat pembajakan (yang ada di Indonesia) sebenarnya sudah begitu mengerikan. Dari sisi industri banyak perusahaan-perusahaan yang berguguran. Lalu dari sisi pencipta lagunya, banyak dari mereka yang tidak bisa mendapatkan hak royaltinya.
Kalau diberi perumpamaan, masalah pembajakan ini sudah bagaimana?
Melihat kondisi yang ada sekarang, ketika kita sudah begitu permisifnya terhadap (barang-barang) bajakan karena memang tidak ada hukumannya yang tegas maka kalau ini diibaratkan sudah seperti penyakit kanker yang sudah masuk stadium lima. Mau dibersihkan sudah susah. Paling-paling yang bisa dilakukan adalah kita tinggal menunggu zaman baru saja.
Kondisi permisif itu sejak kapan mulai menguat?
Tanda-tanda itu sudah kita lihat sejak lima tahun belakangan. Masyarakat kita sudah begitu permisif terhadap pembajakan, di mana masyarakat sudah melihat pembajakan itu sebagai barang biasa. Penjualan-penjualan itu bahkan ada di depan pengadilan umum, kantor polisi, (kantor) Mahkamah Agung sampai depan istana sekalipun. Itulah fakta yang paling jelas bahwa negara tak mampu lagi melawan pembajakan.
Adakah angka yang bisa Anda sebutkan dari beredarnya barang bajakan di pasar?
Sepuluh tahun yang lalu kita (Pappri) punya data yang sifatnya mengira-ngira saja. Mengapa ini bisa terjadi karena untuk mendapatkan data yang resmi itu sungguh sulit. Ibaratnya seperti menentukan berapa banyak tabung gas yang bakal meledak. Ini semua sudah kacau luar biasa dan ini semua bermula dari transparansi dan lemahnya pengawasan sehingga tidak bisa lagi terdata (antara barang asli dan bajakan).
Anda punya rasio antara barang asli dan bajakan?
Dengan maraknya peredaran CD-CD kosong, ditambah lagi dengan banyaknya sentra (pembajakan) baru yg tidak hanya di Jakarta, lalu ditambah munculnya juga teknologi yang memungkinkan untuk dikerjakannya sebagai karya rumahan, kita membuat perbandingan kasar. Nah dalam perbandingan terakhir ini kita menghitungnya sudah sampai 1:200 plus 100. Artinya, satu karya original berbanding dengan dua ratus karya musik bajakan. Kemudian masih ditambah lagi dengan seratus keping CD porno.
Mengapa bisa demikian?
Jaringan pelaku pembajakan itu sama semua. Mulai dari musik, film sampai produk-produk film pornografi. Penjual CD bajakan itu, mulai dari atas sampai ke bawah (yang menjualnya) di lapak-lapak itu sama dengan pelaku penjual VCD porno. Jadi sebenarnya dengan hadirnya Undang-Undang Anti-pornografi itu sebenarnya sama juga tujuan akhirnya, yakni untuk bisa menghajar para pembajak juga. Hal ini semakin terlihat jelas dengan terungkapnya kasus video porno yang mirip artis (yang diduga melibatkan vokalis grup band Ariel Peterpan). Di sana ternyata banyak yang menjual lagu-lagunya tapi ada juga video pornonya.
Berbicara soal UU, bagaimana kondisinya di Indonesia?
Sebenarnya untuk peraturan kita sudah terlambat. Peraturan tentang Hak Cipta ini baru ada di indonesia pada 1982. Sementara industri musik itu sudah ada sebelumnya. Kalau sebelumnya kita masih pakai peraturan yang mengadopsi peraturan Auteurswet yang dibuat Belanda, sedangkan di situ masih sangat sempit (dalam mengatur) apa artinya pembajakan, plagiat, piracy, dan sebagainya. Sementara UU yang lama itu masih belum banyak yang bisa dipakai karena masih banyak adjustmen atau penyesuaian. Kemudian diamandemen pertama pada tahun 1987. Lalu sepuluh tahun baru dirubah lagi sampai 1997. Sementara UU itu sudah sangat terlambat. Baru munculnya UU yang terbaru yang diresmikan pada 2002. Nah selama saat itu sebenarnya sudah begitu banyak pelanggaran yang terjadi.
Konsekuensinya apa?
Akibatnya yang paling nyata, dalam hal ini negara, kalau tidak salah pada 2001 kita sudah langsung masuk sebagai negara ke dalam kategori priority wacth list. Itu yang menentukannya Barat seperti USTR (United Stade TRade Representative) dan itu gambaran yang memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara pembajak.
Akibatnya?
Sama seperti Indonesia yang dicap sebagai teroris. Karya-karya kita pun kalau mau bersaing di tingkat internasional langsung dicurigai sebagai karya piracy. Lalu yang kedua kita tak bisa mendapatkan software, pengetahuan-pengetahuan yang kelas satu seperti yang diperoleh oleh teman-teman kami di Malaysia atau Singapura yang menjadi negara terdekat kita. Sehingga ini menyebabkan bukan saja kita mengalami kehilangan hak ekonomi tapi secara berkarya pun kita mengalami hal yang tragis.
Secara ekonomi adakah contoh yang membuat musisi merasa dirugikan dengan maraknya pembajakan ini?
Sudah begitu banyak contohnya. Sehingga tidak mengherankan ketika ada beberapa nama teman kami (pencipta lagu), terkadang ada yang meninggal atau masuk rumah sakit tapi semua itu justru berakhir pada cerita-cerita tragis. Di antaranya seperti ada yang tak bisa bayar rumah sakit. Kami di Pappri sering mendapatkan fakta ada pencipta lagu yang dulunya sangat laris dan banyak mendapat awards ketika masa akhirnya justru mengalami cerita sampai tidak bisa dikeluarkan dari rumah sakit.
Mengapa pembajakan ini menjadi begitu menjamur di negeri ini?
Banyak faktor yang menyebabkannya. Tapi pembajakan juga terjadi dari sisi kultur. Banyak dari kita, misalnya saja ada seorang menteri, merasa senang bukunya dibajak. Begitu juga misalnya kiai, pendeta yang senang karyanya dibajak karena mereka menilai itu menjadi berkah. Nah tabrakan kultur semacam ini sangat mempengaruhi (menjamurnya pembakan itu di Indonesia).
Hal lainnya?
Terkait dengan penegakan hukum. Selama ini para pelaku pembajakan bisa saja bebas dan tidak divonis. Hal ini tidak (pernah) membuat jera para pelaku pembajakan. Sementara untuk membuat peradilan pembajakan ini begitu sulit karena sejauh ini prosesnya terlalu bertele-tele dan panjang. Nah seperti kita ketahui kalau prosesnya sudah begitu panjang maka biasanya para pelaku itu bisa saja bebas.
Soal disparitas harga?
Ya selama ini banyak disebut sebagai sumber terjadinya pembajakan. Saya sangat tidak setuju karena saya pernah melakukan kajian di universitas besar di Indonesia. Dari situ ternyata terlihat persoalan harga itu tidak semata-mata menyebabkan terjadinya pembajakan. Misalnya saja ada seorang mahasiswa yang ditawarkan diberikan sebuah pulpen milik dosennya dengan harga murah tapi ketika itu ditawarkan ternyata dia tidak berani untuk menerimanya. Begitu juga perumpamaan ketika ada seseorang yang dikasih motor dengan harga murah tapi dijelaskan ini adalah barang curian, mereka ternyata juga tidak berani untuk mengambilnya. Nah dari sini terlihat bahwa harga murah itu bukan penyebab terjadinya pembajakan.
Pernahkah dilakukan dengan membuat produk asli dengan harga murah?
Untuk mengatasi pembajakan itu, kita sebenarnya juga pernah membuat dengan menghasilkan karya-karya yang murah secara harga. Tapi tetap saja para pembeli mencari yang bajakan. Dalam hal ini sebenarnya tak ada yang bisa menangkap maknanya ketika itu dibandingkan dengan kasus penjualan motor curian atau pulpen tadi. Artinya apa, masalah harga ini berada di bawah. Faktor utamanya adalah bagaimana menegakkan peraturan terhadap barang-barang bajakan. Karena bunyi UU-nya berbunyi setiap pemakai, pembuat mereka bisa langsung ditangkap.
Sebenarnya adakah solusi untuk mengatasi pembajakan ini?
Kami dari Pappri pada 2002 sebenarnya pernah memberikan usulan lewat studi dari negara-negara yang sudah lebih dulu maju. Untuk mengawasi karya-karya digital di antaranya bisa dilakukan lewat advance code system. Di sini kita bisa menggunakannya untuk mengetahui berapa banyak sih karya-karya yang dibajak itu. Tapi herannya hal ini malah ditolak oleh industri (perusahaan rekaman).
Advance code system itu modelnya seperti apa?
Sistem ini berisi tentang data-data yang sudah benar prosesnya dan itu bisa diinjek ke dalam CD, mulai dari luar sampai dalamnya. Jadi ketika baran yang dipindai tidak mengeluarkan signal maka bisa kita sebut barang itu adalah haram sehingga bisa dimajukan ke pengadilan dengan cepat dan murah.
Penolakan itu apakah karena sistemnya yang mahal?
Untuk mendatangkan teknologi itu biayanya tidak terlalu mahal dibandingkan dengan estimasi angka yang hilang, yakni sekitar Rp2,7 miliar saja. Dan itu dikeluarkan oleh pemerintah. Itu nantinya bisa dikontrol dengan Departemen Keuangan karena berkaitan dengan pajak, dan itu stiker-nya hanya satu (semacam stiker cukai). Dan sistem itu bukan seperti yang ada sekarang, di mana laku atau tidak laku, striker-nya hanya itu-itu juga. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya permainan di sisi record.
Apakah ini terkait pada persoalan dengan sulitnya mendapatkan transparansi penjualan produk yang ada di industri?
Yang pasti pembajak itu memang memanfaatkan kesenjangan informasi transparansi yang ada di kalangan industri. Sejauh ini memang sulit sekali buat para pembuat karya itu mengetahui berapa banyak karya mereka yang terjual oleh industri. Inilah yang kemudian sekarang ini tak ada angka resmi terkait dengan pembajakan. Apalagi untuk mendapatkan angka pembajakan, untuk mendapatkan angka penjualan original saja tidak bisa didapat. Inilah konsekuensi dari industri bintang yang hanya mengedepankan popularitas ketimbang karyanya.
Soal transparansi itu apakah sudah bisa teratasi dengan hadirnya penggunaan RBT sebagai 'jualan baru' di dunia musik?
Dari sisi teknolongi RBT ini memang bisa mengatasi pembajakan. Tapi lagi-lagi kalau kita bicara soal transparansi, report, dan sebagainya, semua itu masih belum berbeda. Bahkan lebih mengerikan. Sehingga bagaimana kita bisa dibuat terkejut-kejut, Bimbo yang lagunya banyak diputar di masa Ramadhan itu ternyata sangat kecil mendapatkan (royalti)-nya, hanya Rp115 dari Rp9 ribu dalam setiap kali aktifasi.
Dan yang lebih mengerikan lagi ketika meninggalnya Mbah surip. Padahal semua pakai karya Mbah Surip tapi ketika ia meninggal kita tak pernah mendapatkan informasi yang sebenarnya. Bahkan anehnya dari satu perusahaan ada bisa keluar dua report. Itu artinya kita belum sampai ke era digital yang sesungguhnya dan keadaan ini sebenarnya bisa menjadi bom waktu.
Berbicara soal royalti, sebenarnya bagaimana kondisinya di Indonesia?
Sejauh ini yang dibayarkan kepada para pencipta lagu itu sungguh kecil. Padahal awal dari sebuah krya lagu itu adalah penciptanya. Bahkan negara tetangga kita begitu miris terhadap kondisi yang kita dapatkan.
Berapa besarannya?
Pembagian royalti kepada pembuat lagu di Indonesia itu kecil, hanya 2,7 persen dari PPD (Pricicing Price to Dealer) atau harga eceran...Misalnya saja harga di toko kaset itu harganya Rp20 ribu maka harga yang ada di eceran itu bisa saja Rp15 ribu. Angka 2,7 persen itulah yang kemudian dibagikan lagi dari yang Rp15 ribu itu. Nah kalau di dalam album ini ada 12 lagu (dengan pencipta yang berbeda) maka akan dibagi lagi.
Di luar bagaimana?
Saat ini kita paling kecil di Asia. Di Taiwan itu sudah 3 persen pada 1998. Lalu di Malaysia sudah delapan. Sedangkan di Indonesia itu angka 2,7 persen ini telah berlaku dari 1998 sampai sekarag.
Mengapa bisa sampai kecil?
Banyak hal tapi salah satunya di Indonesia itu posisi produser itu tersamar dengan posisi produsen. Yang ada selama ini adalah produsen, bukannya produser. Sementara saya selalu membedakannya. Yang dinamakan produser musik itu adalah kami, bukan mereka (perusahaan rekaman yang memiliki modal disebut sebagai produser). Karena dalam UU Hak Cipta itu diatur pembagian buat produser. Saya sering mengujinya dengan bertanya siapa produsernya maka yang disebutnya adalah produser dari perusahaan rekaman A dan itu sebenarnya salah. Dalam hal ini sebenarnya ada zakat atau hak orang lain yang hilang karena di Indonesia yang namanya produser (musik) itu tidak jelas diakui.
Adakah usaha untuk mengubahnya?
Kami, dalam hal ini adalah Pappri, sebenarnya sudah duduk bareng dengan industri. Tapi sayangnya semua itu masih belum juga bisa tercapai.
Anda sendiri, sejauh ini masih mendapatkan royalti kan?
Ya sampai sekarang saya masih mendapatkannya.
Berapa?
Untuk lagu Lilin Lilin Kecil yang dulu pernah dibawakan Chrisye pada 1970-an saya mendapatkannya Rp35 ribu saja. Tapi kalau dari versi lain yang jumlah sudah mencapai 52 versi, termasuk juga lagu yang dibawakan Chrisye pada versi tahun 1990-an saya masih menerima royalti itu. Meski angkanya tidak beda-beda jauhlah.
Nah dengan kondisi pembajakan dan royalti yang belum berpihak itu, Anda masih tetap berkarya?
Meski pembajakan itu masih begitu kuat, kami sebagai pekerja kreatif terus untuk mencari cara dalam menyiasati pembajakan ini dengan cara lain. Memang jika melihat ke depannya, semua ini sangat sulit karena tak ada transparansi, kemudian juga para pelaku pembajakan masih sangat sulit untuk diadili, lalu sporadisnya wilayah pembajakan. Namun demikian kita tetap optimis. Pertama, Indonesia ini tak bisa disanggah lagi sebagai tempat lahirnya begitu besar akar musik dan semua ini belum tergali. saya yakin akan ada masanya, itu yang lagi kita buat terus.
Kalau kita memotong satu generasi maka itu kan membuang satu generasi yang ada sekarang. Tapi yang bisa kita lakukan sekarang ini adalah bagaimana menyiapkan generasi baru yang mengerti HAKI, norma, digital. Saya tetap yakin jika itu tercipta, mungkin hanya dalam satu regional kecamatan saja, maka pengaruhnya akan sangat besar buat negara ini.
Mengapa Anda begitu ngotot memperjuangkan hal ini, apakah ada rasa dizolimi?
Gabungan. Kalau terzolimi saya tipe orang yang menghormati pada kesepakatan. Jadi untuk kasus (UU Hak Cipta 1982 yang dikaitkan dengan lagu Lilin Lilin Kecil 1970-an), saya tidak merasa dicurangi. Tapi yang pasti saya ingin berbagi kepada generasi muda bahwa perjuangan ini jangan sampai terlupakan. Karena masih begitu banyak teman-teman kita yang menggantungkan hidupnya di industri ini. Sejauh ini perjuangan kita tidak hanya formal dengan cara datang ke DPR atau presiden tapi juga turun langsung ke bawah. Itulah sebabnya saya mengetahui kasus (distribusi penjual CD bajakan) yang mirip bintang (Ariel Peterpan) itu. Dan satu hal lagi saya ingin bisa menghapus stigma Indonesia sebagai negara pembajak.
Anda beberapa tahun lalu pernah terlibat pada penggarapan album SBY. Bisa Anda ceritakan adakah pembajakannya?
Untuk album SBY kemarin itu kami sebenarnya sudah menggunakan teknologi yang bisa memindai barang bajakan atau tidak. Hasilnya ternyata 1:2. Artinya satu CD asli berbanding dengan dua CD bajakan.
Bagaimana ketika SBY mengetahui albumnya dibajak?
Beliau hanya menghela napas. Dan kebetulan saat kami bertemu waktu itu ada Kapolri Sutanto, Menkumham Andi Matalatta, Andi Malarangeng, Jero Wacik, dan Hatta Rajasa yang waktu itu masih sebagai mensesneg. Waktu itu beliau hanya bertanya,''Wah bagaimana nih kepolisian.''
Tidak ada komentar:
Posting Komentar