''Baik buruknya sebuah film bukan tergantung pada filmnya tetapi tergantung pada pembikinnya.'' Sebuah penggalan kalimat itu menjadi penutup dari video dokumenter kehidupan Usmar Ismail yang di tayangkan pada puncak perayaan Hari Film Nasional ke-61 Balairung Sapta Pesona Kementerian Budaya dan Pariwisata di Jakarta, Rabu (30/3).
Ketika kalimat itu kembali terucap, boleh jadi tubuh Usmar telah berkalang tanah. Tetapi ucapan bapak perfilman Indonesia itu rasanya masih cukup relevan untuk memotret perilaku sebagian pembuat film nasional yang hanya berpikir instan: hanya mencari untung!
Film, yang sejatinya menjadi bagian dari produk kebudayaan, dalam setiap masanya selalu saja dihadapkan pada dilema bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada tuntutan untuk menjadikan film sebagai identitas kebangsaan. Tapi di sisi lain, ada juga tuntutan meraup untung lewat sebuah produk bernama hiburan.
Sebagai sebuah produk hiburan yang hanya berpikir mencari untung, tak jarang para pembuat film terjebak dengan mengabaikan nilai-nilai estetika seni, logika cerita hingga pentingnya kedalaman karakter peran.
''Ini menjadi seperti set back seperti dulu lagi, jika tidak berbuat maka bukan tidak mungkin industri film ini bisa kembali lagi mati suri,'' kritik Deddy Mizwar di sela acara perayaan puncak Hari Film Nasional di Jakarta.
Apa yang diucapkan Deddy ini merujuk pada maraknya film esek-esek dan hantu yang sempat menjadi trend di era 1990-an. Sebagai puncaknya, selama hampir 12 tahun lamanya, industri kreatif layar perak ini kemudian seperti kehilangan darah, tak lagi bergeliat.
Tapi setelah era itu berlalu -- ditandai dengan pembuatan Petualangan Sherina karya Riri Riza pada 2002 -- ternyata kecenderungan untuk kembali lagi mengulang prosesi mati suri mulai ditunjukkan lagi. Jika Anda kerap ke bioskop, boleh jadi Anda akan tersenyum simpul ketika membaca judul-judul film seperti Hantu Seluler, Arwah Goyang Kerawang, Dedemit Gunung Kidul, Hantu Tanah Kusir, Jenglot Pantai Selatan, dan lain sebagainya.
Meski judulnya terdengar absurd, tetapi tak sedikit dari judul-judul itu yang justru meraih jumlah penonton terbanyak. Kerap kali, judul-judul itu meroket jumlah penontonnya setelah berhasil memantik beragam kontroversi. Sebutlah misalnya bagaimana Hantu Tanah Kusir pernah membukukan rekor jumlah penonton terbanyak dalam sepekan pada 2010.
Film produksi Maxima Picture itu 'cukup berhasil' berkat kontroversi tampilnya Maria Ozawa yang bermain dengan nama samaran Pauleen. Sebelumnya Maria Ozawa ini sudah lebih dikenal dengan nama panggung Miyabi. Di negeri asalnya di Jepang, popularitas Miyabi lebih mentereng lewat aksinya di film biru.
Hal yang tak jauh berbeda ternyata juga sempat muncul ketika Dewi Perssik dan Julia Perez beradu akting di film Arah Goyang Karawang. Meski sempat tersiar kabar produser film itu sengaja 'menciptakan' konflik antara DP dan Jupe, namun film itu juga memantik amarah sebagian orang Karawang. Film yang dinilai melecehkan orang Karawang itu akhirnya harus rela berganti judul menjadi Arwah Goyang Jupe-Depe.
Pemerhati film nasional, Yan Widjaja, mengungkap film Arwah Goyang Jupe-Depe ini ternyata menjadi salah satu film yang paling nge-hits penontonnya di sepanjang tahun ini. ''Sampai kini jumlah penontonnya sudah menembus angka 800ribu-an,'' katanya.
Dengan raihan angka sebesar itu, film yang diproduseri oleh Shanker -- sosok yang juga pernah mengundang kontroversi di pentas Festival Film Indonesia 2006 -- sudah cukup untuk menumpuk untung. Yan menakar, film itu hanya berbujet tak lebih dari Rp3 miliar. Sedangkan dengan jumlah penonton yang menembus 800 ribu maka pemasukan yang telah diterima sekitar
Rp5,6 miliar.
Nah terkait dengan segala riuh rendah yang kini meramaikan industri film nasional, Lola Amalia hanya bisa mengelus dada saja. Lola adalah produser sekaligus sutradara. Ia pernah merasakan bagaimana pahit getirnya industri film yang kini tengah berada di simpangan jalan. Film Minggu Pagi di Victoria Park yang digarap serius hingga ke Hongkong ternyata harus gigit jari gara-gara sepinya penonton.
''Kalau dibilang meresahkan, saya merasa bisa demikian. Karena jika film-film seperti itu (film yang hanya menjual hantu dan seks dengan bujet minim) terus dibiarkan, rasanya industri film kita bisa kembali lagi ke masa suram dulu,'' kata Lola.