Jumat, 01 April 2011

Nasib Fim Nasional di Simpang Jalan



''Baik buruknya sebuah film bukan tergantung pada filmnya tetapi tergantung pada pembikinnya.'' Sebuah penggalan kalimat itu menjadi penutup dari video dokumenter kehidupan  Usmar Ismail yang di tayangkan pada puncak perayaan Hari Film Nasional ke-61 Balairung Sapta Pesona Kementerian Budaya dan Pariwisata di Jakarta, Rabu (30/3).

Ketika kalimat itu kembali terucap, boleh jadi tubuh Usmar telah berkalang tanah. Tetapi ucapan bapak perfilman Indonesia itu rasanya masih cukup relevan untuk memotret perilaku sebagian pembuat film nasional yang hanya berpikir instan: hanya mencari untung!

Film, yang sejatinya menjadi bagian dari produk kebudayaan, dalam setiap masanya selalu saja dihadapkan pada dilema bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada tuntutan untuk menjadikan film sebagai identitas kebangsaan. Tapi di sisi lain, ada juga tuntutan meraup untung lewat sebuah produk bernama hiburan.

Sebagai sebuah produk hiburan yang hanya berpikir mencari untung, tak jarang para pembuat film terjebak dengan mengabaikan nilai-nilai estetika seni, logika cerita hingga pentingnya kedalaman karakter peran.

''Ini menjadi seperti set back seperti dulu lagi, jika tidak berbuat maka bukan tidak mungkin industri film ini bisa kembali lagi mati suri,'' kritik Deddy Mizwar di sela acara perayaan puncak Hari Film Nasional di Jakarta.

Apa yang diucapkan Deddy ini merujuk pada maraknya film esek-esek dan hantu yang sempat menjadi trend di era 1990-an. Sebagai puncaknya, selama hampir 12 tahun lamanya, industri kreatif layar perak ini kemudian seperti kehilangan darah, tak lagi bergeliat.

Tapi setelah era itu berlalu -- ditandai dengan pembuatan Petualangan Sherina karya Riri Riza pada 2002 -- ternyata kecenderungan untuk kembali lagi mengulang prosesi mati suri mulai ditunjukkan lagi. Jika Anda kerap ke bioskop, boleh jadi Anda akan tersenyum simpul ketika membaca judul-judul film seperti Hantu Seluler, Arwah Goyang Kerawang, Dedemit Gunung Kidul, Hantu Tanah Kusir, Jenglot Pantai Selatan, dan lain sebagainya.


Meski judulnya terdengar absurd, tetapi tak sedikit dari judul-judul itu yang justru meraih jumlah penonton terbanyak. Kerap kali, judul-judul itu meroket jumlah penontonnya setelah berhasil memantik beragam kontroversi. Sebutlah misalnya bagaimana Hantu Tanah Kusir pernah membukukan rekor jumlah penonton terbanyak dalam sepekan pada 2010.

Film produksi Maxima Picture itu 'cukup berhasil' berkat kontroversi tampilnya Maria Ozawa yang bermain dengan nama samaran Pauleen. Sebelumnya Maria Ozawa ini sudah lebih dikenal dengan nama panggung Miyabi. Di negeri asalnya di Jepang, popularitas Miyabi lebih mentereng lewat aksinya di film biru.

Hal yang tak jauh berbeda ternyata juga sempat muncul ketika Dewi Perssik dan Julia Perez beradu akting di film Arah Goyang Karawang. Meski sempat tersiar kabar produser film itu sengaja 'menciptakan' konflik antara DP dan Jupe, namun film itu juga memantik amarah sebagian orang Karawang. Film yang dinilai melecehkan orang Karawang itu akhirnya harus rela berganti judul menjadi Arwah Goyang Jupe-Depe.

Pemerhati film nasional, Yan Widjaja, mengungkap film Arwah Goyang Jupe-Depe ini ternyata menjadi salah satu film yang paling nge-hits penontonnya di sepanjang tahun ini. ''Sampai kini jumlah penontonnya sudah menembus angka 800ribu-an,'' katanya.

Dengan raihan angka sebesar itu, film yang diproduseri oleh Shanker -- sosok yang juga pernah mengundang kontroversi di pentas Festival Film Indonesia 2006 -- sudah cukup untuk menumpuk untung. Yan menakar, film itu hanya berbujet tak lebih dari Rp3 miliar. Sedangkan dengan jumlah penonton yang menembus 800 ribu maka pemasukan yang telah diterima sekitar
Rp5,6 miliar.

Nah terkait dengan segala riuh rendah yang kini meramaikan industri film nasional, Lola Amalia hanya bisa mengelus dada saja. Lola adalah produser sekaligus sutradara. Ia pernah merasakan bagaimana pahit getirnya industri film yang kini tengah berada di simpangan jalan. Film Minggu Pagi di Victoria Park yang digarap serius hingga ke Hongkong ternyata harus gigit jari gara-gara sepinya penonton.

''Kalau dibilang meresahkan, saya merasa bisa demikian. Karena jika film-film seperti itu (film yang hanya menjual hantu dan seks dengan bujet minim) terus dibiarkan, rasanya industri film kita bisa kembali lagi ke masa suram dulu,'' kata Lola.

Saat Hanung Bramantyo Menggugat lewat Film ?




Seperti apakah memaknai kemajemukan etnis dan agama yang ada di negeri ini? Sepantasnya kah kita harus bertengkar hanya karena perbedaan? Dua pertanyaan sederhana ini mungkin saja mudah terucap tetapi kenyataannya negeri ini kerap kali terkungkung oleh satu masalah besar bernama perbedaan!

Hanung Bramantyo, pembuat film yang pernah meraih tropi Citra sebagai Sutradara Terbaik Festival Film Indonsia (FFI) 2005 dan 2007, tergelitik hatinya. Ia berupaya masuk dan coba merekam ulang perbedaan-perbedaan itu dalam kapasitasnya sebagai pembuat film.

Sejatinya, Hanung tak sedang mencela apalagi memancing sengkarut di negeri kita. Tetapi, sineas berusia 35 tahun asal Yogyakarta ini, hanya ingin mengajak kita semua untuk kembali lagi merenung 'masih pentingkah kita berbeda?'

Hasilnya? Sebuah film berjudul ? (baca tanda tanya,red) dihadirkannya. Film ini merupakan produksi perdana dari Mahaka Pictures bekerja sama dengan Dapur Film. Sebuah tanda tanya sengaja diberikan kepada judul film ini karena Hanung memang masih menyimpan tanda tanya besar ketika melihat atas nama perbedaan agama, suku, dan ras, ternyata sebagian anak negeri ini bisa saling bertikai, bahkan juga membunuh.

Mengawali cerita film, Hanung langsung menghadirkan sebuah konflik. Seorang pastur yang tengah menyambut para jemaat di muka gereja ditikam seorang pemuda. Dugaan Anda tak keliru rupanya karena pikiran kita akan digiring  pada tudingan bahwa umat Islam-lah yang telah dengan sengaja melakukannya. Tetapi benarkah demikian?

Setelah memberikan konflik berbau agama, cerita film ini lebih banyak memotret pada lingkup kehidupan yang lebih kecil tetapi cukup menyimpan persoalan pelik di dalamnya. Panggung cerita itu disajikan di salah satu sudut kota tua di Semarang bernama Pasar Baru.

Di sana ada masjid, gereja, dan klenteng. Lalu, untuk membuat cerita ini hidup, Hanung menghadirkan tiga keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi dan suku yang berbeda.

Ada keluarga Tan Kat Sun (diperankan oleh Hengky Sulaeman) yang memiliki restoran Canton Chinese Food. Ia adalah seorang kepala keluarga yang toleran terhadap perbedaan tetapi ternyata menyimpan persoalan dengan putranya, Hendra (Rio Dewanto) dalam menjelaskan betapa pentingnya bertoleransi dengan tetangga yang berbeda agama dan budaya.

Bentuk tolorensi Tan Kat Sun ini, salah satunya ditunjukkan dengan membedakan perkakas memasak untuk makanan tidak halal dan halal serta memberikan libur selama lima hari kepada karyawannya yang Muslim ketika masa Lebaran tiba.

Lalu ada lagi kehidupan sepasang suami-istri, Soleh (Reza Rahadian) dan Menuk (Revalina S Temat). Keduanya adalah warga lokal yang taat pada agamanya. Menuk, perempuan yang digambarkan berjilbab, bekerja sebagai pelayan restoran di keluarga Tan Kat Sun. Sedangkan Soleh, hanyalah seorang kepala keluarga yang labil. Sepanjang hidupnya, ia selalu berupaya untuk mendapatkan pengakuan eksistensi sebagai suami sekaligus kakak bagi adiknya.

Kemudian kehidupan lainnya disajikan pada tokoh bernama Rika (Endhita) dan Surya (Agus Kuncoro). Rika ini berstatus janda satu orang anak. Bagi lingkungan sekitar, Rika dicibir karena keputusannya bercerai serta berganti agama menjadi penganut agama Katolik.

Sementara Agus digambarkan sebagai seorang pemuda muslim yang semasa karirnya sebagai sineas hanya mendapatkan peran figuran. Hingga pada satu titik ia berhasil mendapatkan peran utama. Tetapi kata hatinya beradu apakah ia harus bersedia menerima peran sebagai Yesus pada perayaan malam Paskah dan Natal?

Secara cerita, skenario yang ditulis oleh Titien Wattimena ini cukup kuat. Cerita tersebut juga menjadi apik ketika diperkuat lagi dengan setting lokasi yang ditata rapi sebagai lingkungan urban masa lampau serta pengambilan sudut gambar yang tak mengganggu pandangan.


Sedangkan sebagian besar konflik yang dibangun di dalam cerita ini, seperti diakui Hanung, sebagiannya diinspirasi dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri ini. Salah satunya adalah ketika Soleh mencoba mengamankan perayaan malam Natal.

Soleh yang kala itu sudah mendapat pekerjaan sebagai anggota Banser NU dengan keberaniannya menjadi tameng terhadap bom yang meledak. Hanung sempat mengatakan sosok Soleh ini terinspirasi dari kisah anggota Banser NU bernama Riyanto yang wafat ketika bertugas mengamankan malam Natal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, sepuluh tahun silam.

Tetapi sebagai sebuah karya populer, Hanung tetap tidak mau melupakan bumbu cinta di dalam filmnya. Namun bukan cinta sepasang ABG yang hendak disajikannya. Tetapi cinta di sini bisa juga menjadi universal bagaimana seorang anak mencintai ibunya atau juga hubungan cinta Rika-Surya.

Lalu ada pula api cemburu yang terletup hingga menghadirkan konflik seperti amarah Hendra kepada Soleh. Hendra dan Menuk sebelumnya sempat menjalin kasih. Namun cinta keduanya sempat tak berlanjut ke pelaminan karena perbedaan agama.

Sebelum Soleh dan Hendra menemukan kesadaran bahwa perbedaan itu adalah anugerah, keduanya sering kali beradu mulut dan fisik. Hendra menyebut Soleh sebagai teroris karena streotip bahwa Islam itu kerap berperilaku anarkis. Sedangkan Soleh secara rasial menghardik Hendra sebagai Cina -- sebuah ucapan bentuk kesal yang merujuk pada satu etnis tertentu.

Tetapi segala konflik dan roman cinta yang ada di film ini cukup apik pula dituntaskan menjadi sebuah karya yang happy ending. Dan tak lupa pula, sebagai jawaban atas kegelisahan Hanung sebagai Muslim yang kerap dituding teroris, ia mencoba memberikan jawab atas kegelisihan tersebut. Lewat dialog antara ustad (David Chalik) dan Hendra ketika bertanya tentang Islam, sang ustad menjelaskan bahwa Islam sejatinya adalah agama pembawa rahmat.