Kamis, 22 September 2011

Kenangan dari Sa'unine Orkestra

Dalam keheningan sejenak, seorang perempuan berkebaya putih melantunkan suaranya. Vokalnya terdengar jernih dan terasa begitu membuai. Ia melantunkan gendhing Jawa Tak Lelo Ledhung. Di tangannya, ia seperti tengah menggendong seorang bayi. 


Ah, begitu syahdunya ia bernyanyi. Lantunan yang sudah begitu intim itu semakin diperkuat lagi oleh iringan ragam alat gesek. Lembut terdengar harmoni yang dihasilkannya. Para pendengarnya seperti diingatkan kembali kepada sebuah fase di masa bayi sewaktu ditimang orang tuanya. 


Ya, begitulah Sruti Respati mengartikulasikan penampilan pembuka dari pentas Sa'unine String Orchestra di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (15/9) malam. Sruti merupakan solois perempuan yang besar di lingkungan keluarga pemegang tradisi Jawa. Kehadirannya di pementasan kali ini untuk menandai lahirnya album kedua Sa'Unine String Orchestra bertajuk Buaian Sepanjang Masa. 


Usai Sruti melantun, puluhan penonton cukup mahfum untuk memberikannya aplaus. Gemuruh tepuk tangan langsung membahana ke seluruh ruang yang disulap secara mendadak. Ya, ruangan tempat mentasnya Sa'unine Orchestra ini memang jadi alternatif setelah hujan mengguyur Jakarta. Sedianya, aksi para musisi yang berjumlah 45 orang itu dijadwalkan di luar ruangan. Tapi kehendak Ilahi berbicara lain. 


Dalam pementasan ini, 45 musisi itu membawakan berbagai alat musik gesek. Mulai dari violin, viola, cello, contra bass, hingga suling yang ditiup oleh M Saat Sah. Khusus penampilan Saat, apresiasi penonton menjadi lebih riuh. Tiupan serulingnya pada repertoar berjudul Kara begitu kontemplatif, dalam dan terasa menusuk ke pusat indra perasa manusia! Ia mampu merangsang indra pendengar penontonnya untuk merenung perjalanan hidupnya di masa kecil dahulu. Sebuah masa yang boleh jadi sudah sulit untuk kembali dikenang namun akan selalu tetap teringat bahwa setiap manusia pernah ditimang oleh orang tuanya ketika hendak memenjamkan mata. 


Tak cuma Saat saja yang membuat hati para pendengar menjadi begitu romantik. Kejutan juga diberikan oleh Andre Dinuth. Ia bermain solo gitar dengan iringan orkestra alat gesek ketika membawakan nomor instrumen If Only I Could Turn Back Time. Sebelum repertoar itu dilantunkan, Oni Krisnerwinto memberikan sedikit cerita tentang proses kreatif karya tersebut. ''Lagu ini bercerita tentang hubungan ayah dengan anaknya. Intinya di sana ada kerinduan sang ayah untuk bertemu dengan anaknya. Tapi usaha itu harus menghadapi kendala,'' kata Oni yang menjadi komposer karya instrumentalia tersebut. 




Secara keseluruhan, karya yang dibawakan oleh 'rombongan pengamen' asal Yogyakarta ini cukup kuat untuk menjadi alternatif pementasan musik di negeri ini. Bahkan, album kedua ini telah membuka sebuah ruang baru di tengah pragmatisme industri musik yang terjebak pada keseragaman dan minimalnya kreatifitas bermusik. ''Ini menjadi semacam oase bagi industri musik kita,'' kata Jockie Suryoprayogo, mantan keyboardist God Bless, usai pementasan. 


Keistimewaan lain yang tersaji di dalam pementasan dan album ini adalah usaha Sa'Unine Orchestra dalam mendokumentasikan ulang karya-karya lokal nusantara. Tak cuma dari Jawa saja yang dihadirkan, seperti pada nomor Tak Lelo Ledhung. Tapi di sini, Oni juga menyuguhkan kekayaan karya dari Sumatera Barat seperti yang ada pada repertoar Timang Si Bunyung, Upiak. Lalu ada juga lagu menjelang tidur yang terdapat dari Sulawesi Tengah pada judul Oa-Oa atau Pupuh Pucung 'Sucita Subudi' dari Bali. Sedangkan salah satu yang hingga kini masih tetap terkenang adalah senandung Nina Bobo yang dikemas ulang oleh Dimawan Krisnowo Adji. 


Di penghujung penampilan, para penonton seperti tak ingin segera berpisah. Mereka masih meminta rombongan Sa'Unine Orchestra untuk terus 'mengamen'. Alhasil, disajikanlah sebuah lagu daerah dari Kalimantan berjudul Paris Barantai dan Padang Bulan -- lagu rakyat dari Jawa.

Melihat Discus yang Kompromi dalam Atmosfera


Dalam salah satu seloroh, ada yang menyebut grup band Discus itu lebih condong memainkan 'musik kehendak'. Selorohan itu merujuk karena musikalisasi yang dibawakan Discus lebih memilih bermain di luar ranah arus utama industri musik di negeri ini.

Tapi berbekal dengan musik semacam itu, pamor Discus justru lebih mentereng di luar negeri. Grup yang didalamnya memadukan unsur-unsur musik rock, jazz, klasik, metal, dan musik tradisional Indonesia itu ternyata memiliki penggemar di benua Eropa hingga Amerika. Kalaupun manggung, Discus tidak tampil secara terbatas di hadapan pelajar Indonesia yang merantau ataupun para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri.

Ya, Discus telah membuat relung penggemar lintas batas negara. Tapi kini, Discus seperti tengah menghadapi dilema. Iwan Hasan yang menjadi salah satu motor penggeraknya telah mengikrarkan diri untuk hengkang dari Discus. ''Saya sudah memutuskan keluar dari Discus,'' kata Iwan ketika ditemui pada peluncuran proyek terbarunya yang bertajuk Atmosfera.

Ia merasa memiliki beban psikologis jika harus bertahan di Discus. ''Saya mundur karena (Anto) Praboe sudah almarhum meninggal dunia. Jadi saya merasa musik seperti itu sudah berat dan ini buat saya adalah masalah psikologis,'' ujarnya.


Lantas adakah Iwan Hasan menjadi berpatah arang untuk terus berkarya? Oh tentu tidak, jika mengutip tagline sebuah produk makanan, untuk menggambarkan semangat Iwan untuk selalu berkarya. Iwan bersama sahabatnya di Discus, Fadhil Indra, mencoba menerjemahkan misi Discus yang lebih 'membumi'. Jika Discus dahulu banyak berorientasi ke luar negeri, maka proyek bernama Atmosfera ini ditujukannya untuk berkompromi terhadap selera industri.

Di dalam Atmosfera ini, Iwan (keyboard,gitar) bergandengan dengan Terry Manuputty (bass), Earl Pramudji (gitar) dan Fitra (vokal). Sementara Fadhil yang selama ini banyak berperan sebagai keyboardist, di dalam proyek Atmosfera duduk manis menabuh drum. ''Ini sebuah tantangan buat kita semua,'' kata Fadhil mengenai keterlibatannya di dalam Atmosfera. ''Saya sih berharap musik Atmosfera ini bisa diterima di semua kalangan.''

Bens Leo, pengamat musik nasional, bahkan dengan lantang menilai Atmosfera ini sebagai bentuk Discus yang tampil lebih nge-pop. ''Di dalamnya banyak sentuhan yang berupaya untuk dapat berkompromi dengan selera pendengar kebanyakan,'' ujarnya.

Lagu yang dinilai 'komersial', menurut telinga Bens, dapat disimak pada lagu Diam. Lagu yang dipasang pada track pembuka ini mencoba melakukan eksplorasi yang nge-pop. ''Di sana coba dipadukan bunyi piano, gitar elektrik, drum, bass, tapi juga diperkaya dengan musik babu rindik dari Bali dan improvisasi vokal Fitra yang jazzy. Jadi di sini terlihat sebuah kekuatannya,'' kata Bens menilai.

Usaha untuk berkompromi juga dapat disimak dari durasi di setiap lagu yang terselip di album bertajuk Negeri Cinta ini. Jika di Discus kita bisa menemukan durasi sebuah lagu hampir 20 menit, maka di Atmosfera ini semuanya coba dipersingkat.

''Buat saya, mau panjang maupun pendek (sebuah lagu), selalu ada tempatnya masing-masing. Nah untuk di Atmosfera kita merasa lagu-lagu kita sudah cukup ringkas seperti yang diinginkan selera sekarang,'' kata Iwan yang menjadi komposer di dalam proyek ini.

Kolaborasi Maya Hasan Selain melakukan kompromi pasar, Atmosfera ternyata juga melakukan kompromi dalam bentuk kekeluargaan. Kompromi -- lebih tepatnya disebut kerjasama -- ini dapat dilihat dari keterlibatan tiga bersaudara dari keluarga Hasan.

Selain Iwan Hasan, di proyek ini ada juga Syafei Hasan. Ia berperan sebagai eksekutif produser bagi kedua adik kandungnya. Sedangkan Hasan yang satunya lagi adalah Maya Hasan. Maya adalah seorang harpanis ternama yang sudah menyimpan segudang pengalaman. Di album ini, Maya ditampilkan sebagai additional musician pada lagu Negeri Cinta. Lagu ini sekaligus juga menjadi singel utama bagi debut album Atmosfera.

''Saya sangat senang bisa terlibat di sini. Kebetulan saya sudah mengenal para personelnya sejak lama. Ketika mereka menelurkan album Atmosfera, tentunya ini berbeda dengna Discus. Saya menilai album ini tidak sembarangan, namun juga enak didengar,'' Maya memaparkan isi hatinya ketika dilibatkan dalam proyek Atmosfera ini. ''Meski cuma kebagian satu, saya tetap senang kok. Semoga album dan lagu-lagu dari Atmosfera ini bisa diterima dan diapresiasi dengan baik,'' sambung Maya kembali.

Lantas untuk lebih membuat 'bunyi' yang lebih bergaung keras, Atmosfera memang secara khusus menyasar pendengar dalam negeri saja. ''Sebenarnya permintaan album Atmosfera ini sudah ada juga yang datang dari luar. Ada yang dari Brasil, Uruguay, sampai ke Italia. Mereka menanyakan tentang album Atmosfera. Tapi kita menyadari, Atmosfera ini sebaiknya untuk bisa menjaring pasar dalam negeri saja. Kebetulan juga lirik-lirik lagunya kan masih berbahasa Indonesia,'' ujar Iwan.

Rabu, 14 September 2011

Utha Likumahuwa, Bung, Luka Itu Jadi Penanda



Bung Utha, senyampang Bung masih berada di tengah kami, sebelum bumi menerima jasad dan Tuhan menyambut Bung kembali, izinkan kami bicara. Dunia sepertinya sudah tua, Bung. Lihatlah. Seolah kematian makin akrab. Seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa*.


Dua hari lalu, seniman Sunda, Darso. Kemarin Bung dijemput-Nya dari kami semua. Bung, tiga bulan lalu kami semua terenyak membaca berita. Dalam sebuah perjalanan mulia, silaturahim mengunjungi saudara ke Pekanbaru, Bung terkapar dihajar stroke. Juni lalu itu pun membuka fakta yang sebelumnya mungkin tak pernah Bung duga.

Aktivitas dan tanggung jawab yang padat serta kerinduan untuk selalu memberi sesuatu pada dunia seni negeri ini membuat Bung mengesampingkan kenyataan betapa ringkihnya kita sebagai manusia. Saat pemeriksaan itu, terkuak bahwa Bung pun mengidap diabetes dan gangguan jantung. Belum lagi sebab yang membuat Bung terkapar itu: penyumbatan pembuluh darah.

Setelah itu, Bung diminta-Nya bersabar dengan kelumpuhan di sisi kanan tubuh. Dan, kami melihat Bung begitu sabarnya. Mungkin terilhami lagu yang sering Bung nyanyikan, "Tuhan pun tahu hidup ini sangat berat. Tapi, takdir pun tak mungkin selalu sama."

Di mata kami, Bung terlihat begitu rela. Tetapi memang, bagaimana tidak. Di usia 56, puncak kiprah seorang manusia, Bung telah menorehkan banyak catatan bersejarah. Bermula pada 1981, saat menyanyikan "Tembang Pribumi" karya Christ Kayhatu dalam Lomba Cipta Lagu Remaja, nama Bung mulai dilirik publik musik. Setelah itu, yang ada hanya prestasi.

Bung meraih gelar Penampilan Terbaik Kedua pada ASEAN Pop Song Festival 1989 di Manila. "Sesaat Kau Hadir" yang Bung bawakan juga menjadi lagu terbaik di festival itu. Bung jugalah Sang Juara II Asia Pacific Singing Contest di Hong Kong (1989), Juara Kedua Asia Pacific Broadcasting Union/ ABU Golden Kite World Song Festival di Kuala Lumpur (1990), saat berduet dengan Trie Utami.

Andil Bung dalam dunia musik Indonesia pun tak ternafikan dengan belasan album yang Bung terbitkan. Bung, kami bisa belajar dari optimismemu. Dalam keharusan operasi tempurung kepala, kami dengar kau tak kehilangan gembira. Kita tahu, operasi itu yang membuatmu beralasan meninggalkan kami kemarin, Rabu (13/9).

Biarlah luka itu justru akan jadi penanda pertemuan kita nanti. Tak hanya raut muka. Bahkan kelihatan bekas luka, dekat kening. Kami tahu, Bung tak memaksakan diri. Untuk pergi meninggalkan** kami.

*Dari "Dan Kematian Makin Akrab", puisi Subagio Sastrowardoyo. ** "Maaf", lagu Utha Likumahuwa

Utha Likumahuwa, Bung, Luka Itu Jadi Penanda




Bung Utha, senyampang Bung masih berada di tengah kami, sebelum bumi menerima jasad dan Tuhan menyambut Bung kembali, izinkan kami bicara. Dunia sepertinya sudah tua, Bung. Lihatlah. Seolah kematian makin akrab. Seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa*.

Dua hari lalu, seniman Sunda, Darso. Kemarin Bung dijemput-Nya dari kami semua. Bung, tiga bulan lalu kami semua terenyak membaca berita. Dalam sebuah perjalanan mulia, silaturahim mengunjungi saudara ke Pekanbaru, Bung terkapar dihajar stroke. Juni lalu itu pun membuka fakta yang sebelumnya mungkin tak pernah Bung duga.

Aktivitas dan tanggung jawab yang padat serta kerinduan untuk selalu memberi sesuatu pada dunia seni negeri ini membuat Bung mengesampingkan kenyataan betapa ringkihnya kita sebagai manusia. Saat pemeriksaan itu, terkuak bahwa Bung pun mengidap diabetes dan gangguan jantung. Belum lagi sebab yang membuat Bung terkapar itu: penyumbatan pembuluh darah.

Setelah itu, Bung diminta-Nya bersabar dengan kelumpuhan di sisi kanan tubuh. Dan, kami melihat Bung begitu sabarnya. Mungkin terilhami lagu yang sering Bung nyanyikan, "Tuhan pun tahu hidup ini sangat berat. Tapi, takdir pun tak mungkin selalu sama."

Di mata kami, Bung terlihat begitu rela. Tetapi memang, bagaimana tidak. Di usia 56, puncak kiprah seorang manusia, Bung telah menorehkan banyak catatan bersejarah. Bermula pada 1981, saat menyanyikan "Tembang Pribumi" karya Christ Kayhatu dalam Lomba Cipta Lagu Remaja, nama Bung mulai dilirik publik musik. Setelah itu, yang ada hanya prestasi.

Bung meraih gelar Penampilan Terbaik Kedua pada ASEAN Pop Song Festival 1989 di Manila. "Sesaat Kau Hadir" yang Bung bawakan juga menjadi lagu terbaik di festival itu. Bung jugalah Sang Juara II Asia Pacific Singing Contest di Hong Kong (1989), Juara Kedua Asia Pacific Broadcasting Union/ ABU Golden Kite World Song Festival di Kuala Lumpur (1990), saat berduet dengan Trie Utami.

Andil Bung dalam dunia musik Indonesia pun tak ternafikan dengan belasan album yang Bung terbitkan. Bung, kami bisa belajar dari optimismemu. Dalam keharusan operasi tempurung kepala, kami dengar kau tak kehilangan gembira. Kita tahu, operasi itu yang membuatmu beralasan meninggalkan kami kemarin, Rabu (13/9).

Biarlah luka itu justru akan jadi penanda pertemuan kita nanti. Tak hanya raut muka. Bahkan kelihatan bekas luka, dekat kening. Kami tahu, Bung tak memaksakan diri. Untuk pergi meninggalkan** kami.

*Dari "Dan Kematian Makin Akrab", puisi Subagio Sastrowardoyo. ** "Maaf", lagu Utha Likumahuwa