Selasa, 12 Oktober 2010

Damien Dematra: Saya Terjebak Sebagai Aktifis


Ada panggung kehidupan baru yang kini tengah ditatih oleh Damien Dematra. Namanya meroket sebagai penggagas dan koordinator nasional Gerakan Peduli Pluralisme (GPP). Persoalan pelik yang menyangkut agama, seperti di Ciketing, Bekasi, lalu secara tak langsung telah mengerek pamornya lebih tinggi dibandingkan sebagai seorang novelis, pembuat film, pelukis bahkan fotografer sekalipun. 


Tapi tahukah kita semua, ternyata pria kelahiran Manado ini menyimpan beragam rasa gundah gulana dalam menjalankan panggung kehidupannya yang baru ini.


Di tengah kesibukannya yang baru saja merilis novel Obama & Me, Demien berusaha meluangkan waktunya untuk berbincang-bincang dengan wartawan Republika, Mohammad Akbar, yang menyambanginya di suatu petang, di sebuah mall di kawasan Pluit, Jakarta. Berikut ini petikan wawancaranya.



Sejauh ini Anda sudah bergelut di banyak bidang, profesi mana yang sebenarnya Anda gemari; novelis, filmmaker, pelukis atau aktifis?
Buat saya semua itu tidak penting apa nama profesi atau istilah itu semua.  Lebih terpenting adalah apa yang bisa saya lakukan itu harus dilakukan dari hati. Kalau bisa bermanfaat buat kemanusian dan hati saya tersentuh, apapun itu, walaupun itu bidang yg berbahaya seperti dunia aktifis sekarang, saya akan menjalankannya.


Tentang dunia aktifis, apa yang memotivasi Anda untuk terlibat di dalamnya?
Dunia aktifis ini adalah sesuatu yang sangat baru buat saya. Bagi saya ini adalah sebuah keterjebakan. Ya, saya memang telah terjebak ke dalam situasi yang tidak saya kenali, yang saya tidak tahu tapi saya telah bermain dengan lingkungannya.


Apa yang Anda lakukan?
Saya melakukannya melalui GPP. Sejauh ini ada tiga hal yang sedang diolah oleh GPP. Diawali dari rencana hari pembakaran Al-Quran pada 4 Agustus, kemudian berlanjut kasus HKBP dan sekarang kita sedang coba olah kasus Ahmadiyah


Adakah resiko di dalamnya?
Terus terang ketiga kasus ini melibatkan banyak pihak-pihak. Terutama dalam kasus HKBP. Di sini saya benar-benar memperoleh banyak ancaman, tekanan, pressure, terutama yang berasal dari kalangan-kalangan yang seharusnya bisa menjadi tempat di mana saya harusnya diayomi.


Orang-orang yang justru mempromosikan selama ini konsisten memperjuangkan perbedaan bahwa kita harus berdampingan dalam perbedaan itu, tetapi kok tiba-tiba sebagian -- bukan semua hanya sebagian tetapi yang sebagian ini begitu dominan dan sungguh mengejutkan karena mereka bisa menguasai media (untuk kalimat ini ditegaskan oleh Demian dengan intonasi suara yang tegas,red) -- orang-orang ini kok tiba-tiba melakukan ancaman langsung seperti sms.


Sempat frustrasi atau ingin mundur?
Sekali lagi ini memang sangat mengejutkan. Bahkan saya sempat berpikir untuk berhenti dari dunia aktifis. Karena saya sendiri selama ini tak pernah berpikir bahwa saya ini adalah seorang aktfifis. Saya hanyalah orang yang melihat secara tiba-tiba saja ada sesuatu yang berada di depan dan itu kita harus peduli, bukan mau peduli.


Anda sempat menyebut terjebak, maksudnya?
Keterlibatan saya dalam GPP ini juga sebagai keterjebakan. Karena ketika itu awalnya saya hanya diminta untuk mengelar jumpa pers saja untuk acara deklarasi pluralisme. Tapi tiba-tiba di sana yang hadir ada Eggi Sudjana, Gus Nuril, mereka mengklaim saya ini memiliki akses ke Amerika karena kemarin saya membuat buku tentang Obama, dan itu juga disambung oleh Pong Harjatmo.


Tapi kemudian saya berpikir, kenapa tidak? Toh, kebetulan saya memang kenal dengan orang yg ada di kedutaan Amerika. Jadi saya kontak mereka untuk minta dialog dan kami saat itu terus melakukan dialog-dialog itu hingga sampai akhirnya kita berhasil (mewujudkan GPP). Tapi saya mengira semua itu adalah keterjebakan.


Lainnya?
Keterjebakan lainnya juga pada saat HKBP (Ciketing, Bekasi). Awalnya saya tidak pernah menawarkan diri untuk membantu. Tapi OK-lah karena kita sudah mempunyai jam terbang dan kita sudah sedikit mengetahui petanya, lalu kita mencobanya.


Soal HKBP, bagaimana Anda terlibat di dalamnya?
Awalnya saya ditelpon sama orang PGI yang meminta tolong untuk mengatur press conference. Telpon itu Minggu malam sedangkan kejadiannya pada Minggu pagi. Pada saat itu ada yang bertanya, apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh GPP, maka saat itulah kita sempat terpikir untuk membuat tim investigasi.


Nah ketika kita membuat tim investigasi itu maka kita harus berdiri di tengah, kita harus menjadi orang yang mencari fakta bukan orang men-create fakta. Ibaratnya kita seperti wasit, kita harus bisa melihat di mana duduk permasalahannya, siapa yg salah atau siapa yang benar, kita juga harus bisa beri kesempatan kepada semua pihak untuk mendapat bicara yg sama. Tapi di sinilah muncul tantangan yang sangat berat dan saya mendapat tantangan yang sangat dahsyat.

Adakah karena pernyataan Anda di media yang sempat menyebut jika Anda sudah mengetahui para pelaku? 
Oh jauh sebelum itu. Dalam jumpa pers saya juga mendengar bahwa ada tuduhan yg menyebut kalau FPI terlibat. Nah saya kan sudah punya akses langsung nih ke FPI, karena pada waktu pembakaran Al Quran kita sudah prnah bekerja sama. Lalu saya telponlah, apakah benar FPI terlibat? Loh mereka mengaku malah belum tahu. Tetapi sekali lagi tantangan itu kembali datang karena ada pihak-pihak yang sempat tidak senang dan tidak suka kalau kaum pluralis itu duduk bareng dengan FPI pada. 

Dalam kasus HKBP di Ciketing itu sebenarnya permasalahan yang terjadi seperti apa?
Dalam kasus HKBP ini saya hanya mau menyimpulkan satu kata saja, yakni budaya. Sekali lagi ini bukan persoalan agama.


Maksudnya?
Ketika kita hampir 100 persen merampungkan investigasi, kita menemukan sebuah fakta ternyata bukannya orang Bekasi itu tidak suka dengan keberadaan gereja. Karena di sana juga ada gereja, termasuk HKBP yang berjark dalam radius 1-2 km. Masalah ini muncul justru dari sikap yang dikomplain oleh orang-orang (Bekasi) di situ. Contohnya saja mereka suka membakar babi dan anjing. Sementara di sana lingkungan NU sehingga terlihat sekali kalau mereka (orang-orang HKBP) itu tidak toleran.


Selain itu juga dari cara bicaranya yang berbeda. Jadi sekali lagi sebenarnya ini hanyalah masalah perbedaan budaya saja. Toh, mereka (orang-orang jemaat HKBP) itu sudah berada di sana sudah lama. Jadi sebenarnya masalah ini hanyalah letupan-letupan kecil tetapi malah kemudian menjadi letupan besar. Dan itu terakumulasi besar ketika pada natal 2009.


Ada apa dengan tahun 2009 itu?
Pada saat itu masyarakat sudah semakin tidak nyaman dengan beberapa aktifitas yang semakin besar dari orang HKBP. Maklum saja sebelumnya kan jumlahnya tidak terlalu besar seperti sekarang.


Pendekatan penyelesaian di Ciketing itu apakah ini bisa menjadi miniatur dalam menyelesaikan masalah kebangsaan lainnya?
Seharusnya. Bahwa masalah yg ada di negeri ini kalau kita mau melihat dari perspektif kebudayaan dan kemanusian, saya melihat harusnya kita bisa meng-handle masalah-masalah ini dengan pendekatan kebudayaan. Karena kalau kita sudah masuk dalam ranah politik, agama, atau ranah-ranah kelompok maka sudut pandang yang berbicara adalah kepentingan.
Sedangkan kalau kita membicarakan kepentingan untuk kemanusiaan maka cara berpikirnya adalah solutif, bukan mencari siapa yang menang. (Karena dengan pendekatan kebudayaan itu) semua harus bisa menang, semua harus punya ruang, semua harus punya tempat.


Dalam kasus HKBP di Ciketing itu Anda melihat ada kepentingan besar yang 'bermain'?
Oh iya. Terutama setelah kemudian berkembang kemana-mana maka pada saat itu arahnya sudah berkembang ke arah sana. Ada pemain-pemain yang secara sengaja mengeksploitasi potensi konflik ini untuk sedemikian rupa melakukan pressure dan diekspose sehingga menimbulkan gejolak yang kemudian bisa digunakan untuk menjalankan kepentingan mereka.


Terus terang, hal semacam ini bukan hanya kasus ini saja. Kita juga sempat berbicara dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Mereka bilang bagaimana mungkin masalah seperti ini bisa besar karena kita juga punya masalah semacam ini ternyata bisa selesai hanya dalam tingkat kecamatan saja. Tapi kenapa tiba-tiba masalah ini bisa menjadi besar. Padahal konteks masjid atau gereja yang ngak bisa dibangun juga begitu banyak masalahnya di Indonesia.


Tadi Anda sempat menyinggung tantangan dari pihak-pihak 'teman', sebenarnya seperti apa nilai pluralisme yang Anda ketahui itu?
Saya memang sempat dikatain (cemooh,red) sama beberapa orang bahwa saya tidak mengerti arti kata dari pluralisme. Karena memang selama ini saya hanya mengerti pluralisme itu hanya dari dua guru saya tadi, yakni Gus Dur dan Syafii Ma'arif. Dan yang saya ketahui makna dari pluralisme itu kan sebenarnya adalah falsafah bangsa kita sendiri, yakni Bhineka Tunggal Ika. Di mana di dalamnya harus bisa menghargai perbedaan.  


Nah sampai di sini saya ngak mengetahui apakah pluralisme yang saya ketahui itu berbeda dengan pluralisme yang lain yng saya tidak ketahui. Dan saya juga tidak dalam berada pada posisi yang berhak seperti hakim untuk menentukan atau menjudge teman-teman lain itu yang mungkin memiliki pemahaman yang berbeda. Tapi yang jelas, jangan sampai pluralisme itu menjadi isme. Karena kalau pluralisme itu menjadi isme maka tamatlah pluralisme itu.


Apakah isme-isme itu sudah mengjangkiti para aktifis pluralisme sekarang?
Wah saya tidak tahu. Yang pasti orang boleh menginterprestasikan itu sendiri. Akan tetapi saya sudah bilang bahwa kehadiran GPP itu bukan untuk menjadikan pluralisme itu sebagai isme. Karena kalau sudah menjadi isme maka orang cenderung akan menjadi eksklusif sehingga akan membuatnya menjadi funadamentalis. Jika itu terjadi maka tentunya akan sangat kontraproduktif.


Kasus seperti ini masih akan sangat banyak terjadi dikemudian hari, apakah perlu ada revisi PBM/SKB dua menteri atau justru ditingkatkan sebagai UU?
Saya tidak mau bermain di sana, apakah itu perlu dibuat UU atau tidak. Karena bagi saya masalah yang sebenarnya bukan di situ. Tapi masalah yang lebih besar itu adalah masalah implementasi. Karena implementasinya akan sulit dilakukan kalau kondisi sosial masayarakat dan budaya setempat tidak mendukungnya. Nah kalau sudah demikian, mau diimplementasikan di mana nantinya? Mau by force? Wah apakah memangnya semua masalah itu bisa diselesaikan dengan cara kekuatan-kekuatan aparat atau lainnya. Karena aparat pun punya keterbatasan.


Tapi yang justru kita takutkan, kalau ada pihak-pihak yang bermain di tengah-tengah ini. Nah inilah yang kita butuhkan adanya UU semacam ini, apakah itu pbm atau apapun. Orang yang bermain mempergunakan isu-isu agama, kepentingan politik, itu yang berbahaya. Karena kita semua tahu, di Indonesia itu kalau orang mengangkat masalah agama untuk kepentingan politik, itu biayanya murah, cuma butuh 2-3 galon bensin saja, modalnya ngak banyak. jadi jangan lagi deh tolong dihentikan lagi cara-cara semacam ini.


Soal Ahmadiyah, bagaimana keterlibatan GPP?
Dalam kasus Ahmadiyah, kita melihat harusnya ditemukan cara win-win solution untuk semua orang. Di sana ada hak atas kemanusian dan juga ada kewajiban manusia. Nah ini harus bisa dikombinasikan.


Win-win solution itu seperti apa?
Begini, win-win solution-nya, untuk umat Islam kita harus buat nyaman, begitu juga untuk Ahmadiyah. Apa salahnya sih kalau Ahmadiyah itu menjadi agama sendiri. Di sini kita tidak berpikir siapa yang benar, siapa yang salah. Dan dalam kasus Ahmadiyah ini juga tidak ada berkaitan dengan isu kebebasan beragama.


Kemarin kita sudah bertemu di PB NU, semuanya sudah semakin mengkristal. Dalam hal ini kita juga tidak bisa memaksakan Ahmadiyah itu kembali ke Islam, loh kalau mereka tidak mau bagaimana? Jadi mereka harusnya juga dikasih ruang. Mau kembali ke Islam silahkan tapi kalau menjalankan kepercayaannya juga silahkan. Di sini pemerintah harusnya bisa melindunginya.


Seberapa besar aktifis Anda di GPP ini menguras energi dalam 24 jam sehari?
Dari kasus 4 agustus, rencana pembakaran al quran itu, hingga sekarang Ahmadiyah, terus terang sudah menyedot sampai 90 persen dari total kehidupan saya. Bahkan ada beberapa film yang harus saya lewati.


Tentang film Obama Anak Menteng, kabarnya mau dibawa ke Amerika. Bisa Anda ceritakan sedikit?
Pada 3-10 november nanti film tersebut (Obama Anak Menteng) akan berada di Amerika Serikat. Nantinya akan ada special screening untuk para distributor dari seluruh dunia. Rencananya akan digelar di Kalifornia dan Hollywood. Kami berharap setelah itu filmnya bisa juga diputar di Amerika.


Bagaimana dengan Obama, sudah menontonnya?
Berdasarkan informasi yang saya dapat dari orang kedutaan (Amerika), Obama akan datang pada awal November. Jadi kemungkinan besar beliau datang maka filmnya akan diputar juga di sini.


Oh ya, Anda kabarnya juga akan merilis novel tentang Kartosoewirjo, kapan?
Novel itu sudah berada di meja redaksi Gramedia sejak bulan mei. Tapi sampai sekarang masih belum keluar juga. Saya dengar informasi lauch-nya akan dilakukan pada bulan November nanti. Buat saya novel itu sangat kontroversial karena novel itu bercerita sejarah dan mengangkat dua sisi, apakah Kartosoewiryo itu teroris atau pahlawan.


Ngomong-ngomong ketika kecil dulu, pernahkah memimpikan semua pencapaian yang telah didapat sekarang ini?
Sama sekali tidak. Saya dulu pernah bercita-cita menjadi pilot tapi tak bisa lolos. Kemudian saya sempat terpikir untuk menjadi lawyer. Tapi setelah berpikir-pikir ternyata saingannya banyak karena temen-teman dari Medan lebih jago. Jadi akhirnya saya memilih menjadi seorang fotografer. Sayangnya saya tidak bisa di dunia itu terlalu lama karena masuknya dunia dgital. Setelah saya terpilih sebagaui fotografer terbaik dunia dua kali, buat saya sudah sama sekali tidak menarik lagi buat saya dan hingga akhirnya saya mencoba melakukan eksplorasi kepada hal-hal lain.

Rabu, 06 Oktober 2010

Gugun Blues Shelter, Yang (Terlanjur) Besar di Luar



Di Indonesia, boleh jadi tak begitu banyak yang mengenal nama grup band Gugun Blues Shelter. Tapi, bukan berarti grup yang dihuni Gugun (vokal, gitar), Jono (bass), dan Bowie (drums) ini masih miskin prestasi.
Sebagai band pengusung musik blues, Gugun Blues Shelter justru lebih dikenal luas di Eropa, khususnya Inggris. Entah berapa kali festival blues 4 dan rock yang ada negeri Ratu Elizabeth itu telah mereka hadiri.
Kini, pada gelaran Gudang Garam InterMusic Java Rockinland 2010, Gugun Blues Shelter didaulat telah memperlihatkan kemampuan. Mereka mengawali penampilannya di ajang pre-event yang digelar di lapangan parkir Basuki Rahmat, Surabaya, Sabtu (2/10) lalu. "Ini penampilan pertama kami di ajang ini. Kami sungguh senang bisa tampil. Semoga saja ajang semacam ini bisa kembali membesarkan musik mck dan blues," kata Gugun sebelum naik panggung.
Tentang popularitas yang jauh lebih mentereng di negeri orang, Gugun mengatakan, selain musik yang mereka usung, juga barangkali berhubungan dengan salah satu personel yang berasal dari Inggris. "Yang pasti, di luar sana,musik-musik seperti yang kami mainkan ini lebih banyak mendapat apresiasi dibandingkan di sini," kata Gugun.
Tahukah Anda, siapa nama personel Gugun yang berasal dari Inggris itu. Sorry Bro, namanya Jono. Dia adalah pembetot bass yang telah mengawali persahabatan dengan Gugun sejak 2004. Keduanya sempat memberi nama grup band itu Gugun the BluesBugs. Namun, nama tersebut terpaksa diubah ketika hendak menggelar konser di Inggris. "Agen kami meminta kami berganti nama. Nama band yang kami pilih sudah ada yang punya," kata Gugun.
Dengan lebih banyak manggung di luar negeri, grup band itu tentu saja jadi lebih banyak membuat lirik-lirik lagu dalam bahasa Inggris. "Jika dibandingkan, 80 persen di arttara lagu kami berbahasa Inggris," kata Jono yang uniknya tak bernama Joni ini.
Umumnya lirik-lirik lagu yang mereka pilih adalah tema-tema yang berisi kritik sosial. Bahkan, di album keempat yang dirilis pada tahun ini, Gugun Blues Shelter membuat semua liriknya dalam bahasa Inggris.
Tentang pilihan tema lirik pun lebih banyak memotret persoalan sosial dan perdamaian yang ada di Indonesia. Dengarlah lagu On The Run. Lagu yang ditulis Gugun dan Jono pada 2004 ituterinspirasi peristiwa ledakan bom yang terjadi di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Sedangkan, pada lagu Fight for Freedom, mereka bercerita tentang perjuangan menyuburkan demok rasi di negara yang baru bertumbuh.
Jono menjelaskan, musik mereka di album terakhir itu begitu eksploratif. "Kami coba mencampurnya dengan sedikit sentuhan punk, meski domain utamanya adalah musik blues dan rock," ujarnya.
Sementara itu, dengan popularitas mereka di huar, pada September lalu, grup itu menjadi salah satu wakil dari Indonesia yang tampil di sebuah festival blues internasional di Shanghai, Cina.
"Pada saat itu, kami menjadi salah satu wakil Asia dari 192 negara yang tampil di festival itu. Terus terang, hal itu menjadi sebuah kebanggaan sendiri buat kami," ujar Gugun.
Pada Januari lalu, Gugun cs juga sempat menjadi salah satu penampil di ajang Skegness Festival. Festival tersebut merupakan salah satu gelaran musik blues rock terbesar di Inggris.
Untuk 2011, sejumlah agenda untuk .memeriahkan festival di Eropa telah menunggu. "Beberapa jadwal main di luar sudah ada. Agensi kami sudah menjadwalkan untuk tampil di beberapa negara Eropa," ujar Gugun.

Reach for the Skies,Teriakan Churchill di Tangga Lagu



Pemimpin perang Winston Churchill menjadi perdana menteri Inggris pertama yang berhasil masuk ke dalam daftar lagu pop di negaranya. Perdana menteri berjuluk Winnie, dengan mulut tak pernah lepas cerutu, itu tidak bernyanyi, ia berteriak. 

Yang diteriakkannya itu pidatonya yang legendaris pada Perang Inggris Raya (The  Battle of Britain). Teriakannya itu telah disulap menjadi rangkaian harmoni oleh sebuah grup band, Central Band dari Angkatan Udara Inggris (Royal Air Force atau RAF). Atas prakarsa grup band tersebut, pidato-pidato yang telah memberi semangat bangsa Inggris untuk rela mengorbankan jiwa demi berperang melawan Jerman itu dikemas ke dalam sebuah album,  'Reach for the Skies'.

Mengutip laporan Reuters, album itu berhasil meraih posisi keempat pada pekan perdananya dirilis, setingkat di bawah Phil Collins ('Going Back'). Album milik Central Band itu bahkan jauh lebih populer dibandingkan karya milik musisi asal Inggris, Eric Clapton, yang hanya bertengger di urutan ketujuh.  

Album 'Reach for the Skies'  hadir sebagai usaha mengenang 70 tahun perayaan Battle of Britain-sebuah kampanye udara yang sangat penting ketika Inggris berperang melawan serdadu Nazi Jerman pada rentang Agustus-September 1940. Selain itu, album itu juga dibuat untuk menandai momentum 90 tahun RAF yang menyimpan poin penting dalam sejarah Inggris. 

"Ini sungguh luar biasa. Sedemikian panjang daftar bintang-bintang Official Chart yang ada. Ada Elvis, Madonna, Cliff (Richard), dan the Beatles. Kini, kami mendapatkan tambahan lagi dengan hadirnya Winston Churchill," kata Martin Talbot, direktur manajemen dari Official Charts Company. 

Kegembiraan Talbot sungguh beralasan. Ia wajar bangga karena album ini sejatinya hadir untuk mengenang jasa-jasa prajurit Inggris yang gagah berani menjalani perang Britania. "Album ini juga didedikasikan guna mengenang pengorbanan yang luar biasa dari para prajurit kami. Ternyata, masyarakat Inggris telah membeli album RAF ini dalam jumlah besar," ujar Talbot, gembira. 

Dalam wawancara dengan Telegraph bulan lalu,  general manager Decca-perusahaan rekaman yang merilis 'Reach for the Skies' --secara khusus mencomot pidato mantan perdana menteri Inggris tersebut. "Dengan sedikit bantuan dari Winston Churchill sendiri, kami telah memproduksi sebuah album yang telah membuat kami semua bangga," kata Mark Wilkinson. 

Album itu digarap komposer dan konduktor asal Inggris Ron Goodwin. Di dalamnya melibatkan para prajurit dan musisi yang berasal dari skuadron 633 untuk membawakan mars 'Battle of Britain'. Goodwin mengemasnya dalam sebuah karya orkestrasi. Para pemain yang terlibat pada band itu lahir jauh setelah perang monumental itu berlangsung. 

Namun, bukan berarti para musisi yang terlibat di dalamnya menjadi kehilangan makna dalam membawakannya. Satu di antaranya peniup terompet asal Prancis, Ellen Driscoll. Ia mengaku mempelajari kenangan 'Battle of Britain' dari neneknya yang menjadi salah satu anggota Biggin Hill yang menjadi salah satu satuan pada perang 1940 itu. "Perang Dunia Kedua ini telah memberikan banyak hal yang begitu dramatis serta luar biasa," kata Driscoll. "Anda telah tumbuh mempelajari mengenai apa yang pernah terjadi itu dan bagaimana segalanya seperti suara dari Spitfires yang begitu menggugah. Semua itu telah memberikan resonansi yang begitu kuat kepada saya dan pemain lainnya di dalam band ini."
 
Sedangkan salah satu penulis lagu Central Band, Rob Jordan, mengaku album itu secara istimewa dihadirkan untuk memberikan kesan khusus guna mengenang jasa-jasa para prajurit Inggris yang pernah berperang pada pertempuran itu. "Kami memang menginginkan album ini bisa menjadi lebih up to date dan memikat para pendengar baru," kata dia. "Lagu yang ada di album ini juga merefleksikan cinta yang diberikan keluarga dan sahabat para tentara yang tengah berjuang itu."