Ada panggung kehidupan baru yang kini tengah ditatih oleh Damien Dematra. Namanya meroket sebagai penggagas dan koordinator nasional Gerakan Peduli Pluralisme (GPP). Persoalan pelik yang menyangkut agama, seperti di Ciketing, Bekasi, lalu secara tak langsung telah mengerek pamornya lebih tinggi dibandingkan sebagai seorang novelis, pembuat film, pelukis bahkan fotografer sekalipun.
Tapi tahukah kita semua, ternyata pria kelahiran Manado ini menyimpan beragam rasa gundah gulana dalam menjalankan panggung kehidupannya yang baru ini.
Di tengah kesibukannya yang baru saja merilis novel Obama & Me, Demien berusaha meluangkan waktunya untuk berbincang-bincang dengan wartawan Republika, Mohammad Akbar, yang menyambanginya di suatu petang, di sebuah mall di kawasan Pluit, Jakarta. Berikut ini petikan wawancaranya.
Sejauh ini Anda sudah bergelut di banyak bidang, profesi mana yang sebenarnya Anda gemari; novelis, filmmaker, pelukis atau aktifis?
Buat saya semua itu tidak penting apa nama profesi atau istilah itu semua. Lebih terpenting adalah apa yang bisa saya lakukan itu harus dilakukan dari hati. Kalau bisa bermanfaat buat kemanusian dan hati saya tersentuh, apapun itu, walaupun itu bidang yg berbahaya seperti dunia aktifis sekarang, saya akan menjalankannya.
Tentang dunia aktifis, apa yang memotivasi Anda untuk terlibat di dalamnya?
Dunia aktifis ini adalah sesuatu yang sangat baru buat saya. Bagi saya ini adalah sebuah keterjebakan. Ya, saya memang telah terjebak ke dalam situasi yang tidak saya kenali, yang saya tidak tahu tapi saya telah bermain dengan lingkungannya.
Apa yang Anda lakukan?
Saya melakukannya melalui GPP. Sejauh ini ada tiga hal yang sedang diolah oleh GPP. Diawali dari rencana hari pembakaran Al-Quran pada 4 Agustus, kemudian berlanjut kasus HKBP dan sekarang kita sedang coba olah kasus Ahmadiyah
Adakah resiko di dalamnya?
Terus terang ketiga kasus ini melibatkan banyak pihak-pihak. Terutama dalam kasus HKBP. Di sini saya benar-benar memperoleh banyak ancaman, tekanan, pressure, terutama yang berasal dari kalangan-kalangan yang seharusnya bisa menjadi tempat di mana saya harusnya diayomi.
Orang-orang yang justru mempromosikan selama ini konsisten memperjuangkan perbedaan bahwa kita harus berdampingan dalam perbedaan itu, tetapi kok tiba-tiba sebagian -- bukan semua hanya sebagian tetapi yang sebagian ini begitu dominan dan sungguh mengejutkan karena mereka bisa menguasai media (untuk kalimat ini ditegaskan oleh Demian dengan intonasi suara yang tegas,red) -- orang-orang ini kok tiba-tiba melakukan ancaman langsung seperti sms.
Sempat frustrasi atau ingin mundur?
Sekali lagi ini memang sangat mengejutkan. Bahkan saya sempat berpikir untuk berhenti dari dunia aktifis. Karena saya sendiri selama ini tak pernah berpikir bahwa saya ini adalah seorang aktfifis. Saya hanyalah orang yang melihat secara tiba-tiba saja ada sesuatu yang berada di depan dan itu kita harus peduli, bukan mau peduli.
Anda sempat menyebut terjebak, maksudnya?
Keterlibatan saya dalam GPP ini juga sebagai keterjebakan. Karena ketika itu awalnya saya hanya diminta untuk mengelar jumpa pers saja untuk acara deklarasi pluralisme. Tapi tiba-tiba di sana yang hadir ada Eggi Sudjana, Gus Nuril, mereka mengklaim saya ini memiliki akses ke Amerika karena kemarin saya membuat buku tentang Obama, dan itu juga disambung oleh Pong Harjatmo.
Tapi kemudian saya berpikir, kenapa tidak? Toh, kebetulan saya memang kenal dengan orang yg ada di kedutaan Amerika. Jadi saya kontak mereka untuk minta dialog dan kami saat itu terus melakukan dialog-dialog itu hingga sampai akhirnya kita berhasil (mewujudkan GPP). Tapi saya mengira semua itu adalah keterjebakan.
Lainnya?
Keterjebakan lainnya juga pada saat HKBP (Ciketing, Bekasi). Awalnya saya tidak pernah menawarkan diri untuk membantu. Tapi OK-lah karena kita sudah mempunyai jam terbang dan kita sudah sedikit mengetahui petanya, lalu kita mencobanya.
Soal HKBP, bagaimana Anda terlibat di dalamnya?
Awalnya saya ditelpon sama orang PGI yang meminta tolong untuk mengatur press conference. Telpon itu Minggu malam sedangkan kejadiannya pada Minggu pagi. Pada saat itu ada yang bertanya, apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh GPP, maka saat itulah kita sempat terpikir untuk membuat tim investigasi.
Nah ketika kita membuat tim investigasi itu maka kita harus berdiri di tengah, kita harus menjadi orang yang mencari fakta bukan orang men-create fakta. Ibaratnya kita seperti wasit, kita harus bisa melihat di mana duduk permasalahannya, siapa yg salah atau siapa yang benar, kita juga harus bisa beri kesempatan kepada semua pihak untuk mendapat bicara yg sama. Tapi di sinilah muncul tantangan yang sangat berat dan saya mendapat tantangan yang sangat dahsyat.
Adakah karena pernyataan Anda di media yang sempat menyebut jika Anda sudah mengetahui para pelaku?
Oh jauh sebelum itu. Dalam jumpa pers saya juga mendengar bahwa ada tuduhan yg menyebut kalau FPI terlibat. Nah saya kan sudah punya akses langsung nih ke FPI, karena pada waktu pembakaran Al Quran kita sudah prnah bekerja sama. Lalu saya telponlah, apakah benar FPI terlibat? Loh mereka mengaku malah belum tahu. Tetapi sekali lagi tantangan itu kembali datang karena ada pihak-pihak yang sempat tidak senang dan tidak suka kalau kaum pluralis itu duduk bareng dengan FPI pada.
Dalam kasus HKBP di Ciketing itu sebenarnya permasalahan yang terjadi seperti apa?
Dalam kasus HKBP ini saya hanya mau menyimpulkan satu kata saja, yakni budaya. Sekali lagi ini bukan persoalan agama.
Maksudnya?
Ketika kita hampir 100 persen merampungkan investigasi, kita menemukan sebuah fakta ternyata bukannya orang Bekasi itu tidak suka dengan keberadaan gereja. Karena di sana juga ada gereja, termasuk HKBP yang berjark dalam radius 1-2 km. Masalah ini muncul justru dari sikap yang dikomplain oleh orang-orang (Bekasi) di situ. Contohnya saja mereka suka membakar babi dan anjing. Sementara di sana lingkungan NU sehingga terlihat sekali kalau mereka (orang-orang HKBP) itu tidak toleran.
Selain itu juga dari cara bicaranya yang berbeda. Jadi sekali lagi sebenarnya ini hanyalah masalah perbedaan budaya saja. Toh, mereka (orang-orang jemaat HKBP) itu sudah berada di sana sudah lama. Jadi sebenarnya masalah ini hanyalah letupan-letupan kecil tetapi malah kemudian menjadi letupan besar. Dan itu terakumulasi besar ketika pada natal 2009.
Ada apa dengan tahun 2009 itu?
Pada saat itu masyarakat sudah semakin tidak nyaman dengan beberapa aktifitas yang semakin besar dari orang HKBP. Maklum saja sebelumnya kan jumlahnya tidak terlalu besar seperti sekarang.
Pendekatan penyelesaian di Ciketing itu apakah ini bisa menjadi miniatur dalam menyelesaikan masalah kebangsaan lainnya?
Seharusnya. Bahwa masalah yg ada di negeri ini kalau kita mau melihat dari perspektif kebudayaan dan kemanusian, saya melihat harusnya kita bisa meng-handle masalah-masalah ini dengan pendekatan kebudayaan. Karena kalau kita sudah masuk dalam ranah politik, agama, atau ranah-ranah kelompok maka sudut pandang yang berbicara adalah kepentingan.
Sedangkan kalau kita membicarakan kepentingan untuk kemanusiaan maka cara berpikirnya adalah solutif, bukan mencari siapa yang menang. (Karena dengan pendekatan kebudayaan itu) semua harus bisa menang, semua harus punya ruang, semua harus punya tempat.
Dalam kasus HKBP di Ciketing itu Anda melihat ada kepentingan besar yang 'bermain'?
Oh iya. Terutama setelah kemudian berkembang kemana-mana maka pada saat itu arahnya sudah berkembang ke arah sana. Ada pemain-pemain yang secara sengaja mengeksploitasi potensi konflik ini untuk sedemikian rupa melakukan pressure dan diekspose sehingga menimbulkan gejolak yang kemudian bisa digunakan untuk menjalankan kepentingan mereka.
Terus terang, hal semacam ini bukan hanya kasus ini saja. Kita juga sempat berbicara dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Mereka bilang bagaimana mungkin masalah seperti ini bisa besar karena kita juga punya masalah semacam ini ternyata bisa selesai hanya dalam tingkat kecamatan saja. Tapi kenapa tiba-tiba masalah ini bisa menjadi besar. Padahal konteks masjid atau gereja yang ngak bisa dibangun juga begitu banyak masalahnya di Indonesia.
Tadi Anda sempat menyinggung tantangan dari pihak-pihak 'teman', sebenarnya seperti apa nilai pluralisme yang Anda ketahui itu?
Saya memang sempat dikatain (cemooh,red) sama beberapa orang bahwa saya tidak mengerti arti kata dari pluralisme. Karena memang selama ini saya hanya mengerti pluralisme itu hanya dari dua guru saya tadi, yakni Gus Dur dan Syafii Ma'arif. Dan yang saya ketahui makna dari pluralisme itu kan sebenarnya adalah falsafah bangsa kita sendiri, yakni Bhineka Tunggal Ika. Di mana di dalamnya harus bisa menghargai perbedaan.
Nah sampai di sini saya ngak mengetahui apakah pluralisme yang saya ketahui itu berbeda dengan pluralisme yang lain yng saya tidak ketahui. Dan saya juga tidak dalam berada pada posisi yang berhak seperti hakim untuk menentukan atau menjudge teman-teman lain itu yang mungkin memiliki pemahaman yang berbeda. Tapi yang jelas, jangan sampai pluralisme itu menjadi isme. Karena kalau pluralisme itu menjadi isme maka tamatlah pluralisme itu.
Apakah isme-isme itu sudah mengjangkiti para aktifis pluralisme sekarang?
Wah saya tidak tahu. Yang pasti orang boleh menginterprestasikan itu sendiri. Akan tetapi saya sudah bilang bahwa kehadiran GPP itu bukan untuk menjadikan pluralisme itu sebagai isme. Karena kalau sudah menjadi isme maka orang cenderung akan menjadi eksklusif sehingga akan membuatnya menjadi funadamentalis. Jika itu terjadi maka tentunya akan sangat kontraproduktif.
Kasus seperti ini masih akan sangat banyak terjadi dikemudian hari, apakah perlu ada revisi PBM/SKB dua menteri atau justru ditingkatkan sebagai UU?
Saya tidak mau bermain di sana, apakah itu perlu dibuat UU atau tidak. Karena bagi saya masalah yang sebenarnya bukan di situ. Tapi masalah yang lebih besar itu adalah masalah implementasi. Karena implementasinya akan sulit dilakukan kalau kondisi sosial masayarakat dan budaya setempat tidak mendukungnya. Nah kalau sudah demikian, mau diimplementasikan di mana nantinya? Mau by force? Wah apakah memangnya semua masalah itu bisa diselesaikan dengan cara kekuatan-kekuatan aparat atau lainnya. Karena aparat pun punya keterbatasan.
Tapi yang justru kita takutkan, kalau ada pihak-pihak yang bermain di tengah-tengah ini. Nah inilah yang kita butuhkan adanya UU semacam ini, apakah itu pbm atau apapun. Orang yang bermain mempergunakan isu-isu agama, kepentingan politik, itu yang berbahaya. Karena kita semua tahu, di Indonesia itu kalau orang mengangkat masalah agama untuk kepentingan politik, itu biayanya murah, cuma butuh 2-3 galon bensin saja, modalnya ngak banyak. jadi jangan lagi deh tolong dihentikan lagi cara-cara semacam ini.
Soal Ahmadiyah, bagaimana keterlibatan GPP?
Dalam kasus Ahmadiyah, kita melihat harusnya ditemukan cara win-win solution untuk semua orang. Di sana ada hak atas kemanusian dan juga ada kewajiban manusia. Nah ini harus bisa dikombinasikan.
Win-win solution itu seperti apa?
Begini, win-win solution-nya, untuk umat Islam kita harus buat nyaman, begitu juga untuk Ahmadiyah. Apa salahnya sih kalau Ahmadiyah itu menjadi agama sendiri. Di sini kita tidak berpikir siapa yang benar, siapa yang salah. Dan dalam kasus Ahmadiyah ini juga tidak ada berkaitan dengan isu kebebasan beragama.
Kemarin kita sudah bertemu di PB NU, semuanya sudah semakin mengkristal. Dalam hal ini kita juga tidak bisa memaksakan Ahmadiyah itu kembali ke Islam, loh kalau mereka tidak mau bagaimana? Jadi mereka harusnya juga dikasih ruang. Mau kembali ke Islam silahkan tapi kalau menjalankan kepercayaannya juga silahkan. Di sini pemerintah harusnya bisa melindunginya.
Seberapa besar aktifis Anda di GPP ini menguras energi dalam 24 jam sehari?
Dari kasus 4 agustus, rencana pembakaran al quran itu, hingga sekarang Ahmadiyah, terus terang sudah menyedot sampai 90 persen dari total kehidupan saya. Bahkan ada beberapa film yang harus saya lewati.
Tentang film Obama Anak Menteng, kabarnya mau dibawa ke Amerika. Bisa Anda ceritakan sedikit?
Pada 3-10 november nanti film tersebut (Obama Anak Menteng) akan berada di Amerika Serikat. Nantinya akan ada special screening untuk para distributor dari seluruh dunia. Rencananya akan digelar di Kalifornia dan Hollywood. Kami berharap setelah itu filmnya bisa juga diputar di Amerika.
Bagaimana dengan Obama, sudah menontonnya?
Berdasarkan informasi yang saya dapat dari orang kedutaan (Amerika), Obama akan datang pada awal November. Jadi kemungkinan besar beliau datang maka filmnya akan diputar juga di sini.
Oh ya, Anda kabarnya juga akan merilis novel tentang Kartosoewirjo, kapan?
Novel itu sudah berada di meja redaksi Gramedia sejak bulan mei. Tapi sampai sekarang masih belum keluar juga. Saya dengar informasi lauch-nya akan dilakukan pada bulan November nanti. Buat saya novel itu sangat kontroversial karena novel itu bercerita sejarah dan mengangkat dua sisi, apakah Kartosoewiryo itu teroris atau pahlawan.
Ngomong-ngomong ketika kecil dulu, pernahkah memimpikan semua pencapaian yang telah didapat sekarang ini?
Sama sekali tidak. Saya dulu pernah bercita-cita menjadi pilot tapi tak bisa lolos. Kemudian saya sempat terpikir untuk menjadi lawyer. Tapi setelah berpikir-pikir ternyata saingannya banyak karena temen-teman dari Medan lebih jago. Jadi akhirnya saya memilih menjadi seorang fotografer. Sayangnya saya tidak bisa di dunia itu terlalu lama karena masuknya dunia dgital. Setelah saya terpilih sebagaui fotografer terbaik dunia dua kali, buat saya sudah sama sekali tidak menarik lagi buat saya dan hingga akhirnya saya mencoba melakukan eksplorasi kepada hal-hal lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar