Maksum (52), penyanyi gambang kromong asal Bekasi, menghabiskan setengah usianya untuk kelestarian kesenian yang diklaim milik masyarakat Betawi. Ia hafal hampir seluruh lagu gambang kromong modern, terutama lagu-lagu Benyamin S, Ida Royani, dan Lilis Suryani, tapi tak mengenal seluruh lagu yang jauh lebih tua.
“Waduh, kalo untuk lagu-lagu klasik mungkin yang bisa hanya Masnah Pang Tjin Nio,” katanya kepada Republika saat ditemui pada perayaan Pecun di Tangerang, beberapa waktu lalu.
Kosim Balada (54), pemilik gambang kromong Lenong Mini (Bang Lemin), menga ku masih mengenal beberapa repertoar klasik dan lagu lama kesenian ini. Ia tahu “Pobin Kong Ji Lok”, “Pobin Po Pan Tau”, tapi tidak tahu belasan lainnya.
Yang ia tahu, pobin—repertoar yang dimainkan pada masa awal orkes gambang, sebutan lain untuk gambang kromong—adalah musik sakral masyarakat Tionghoa. Ia coba melestarikan beberapa dengan memasukkannya ke elekton.
“Untuk lagu-lagu klasik yang saya hafal adalah ‘Kramat Karem’, ‘Gula Ganting’, ‘Mas Nona’, dan lainnya,” ujar Kosim.
Maksum dan Kosim adalah generasi terakhir gambang kromong. Maksum relatif bisa memainkan satu atau dua alat musik tradisional peranakan Tionghoa Be tawi itu. Sementara Kosim hanya penyanyi dan tidak berupaya belajar memainkan alat musik.
Keduanya, seperti kebanyakan pemain gambang kromong di sekujur Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, tidak banyak mewariskan lagu-lagu dan repertoar klasik. Bahkan, Smithsonian Folkways hanya bisa merekam dua pobin: “Kong Ji Lok” dan “Po Pan Tau”, dan memopulerkannya di Youtube.
Wikipedia sedikit lebih maju dengan mencatat sejumlah pobin: seperti “Kong Ji Liok”, “Sip Pat Mo”, “Poa Si Li Tan”, “Peh Pan Tau”, “Cit No Sha”, “Ma Cun Tay”, “Cu Te Pan”, “Cay Cu Teng”, dan “Cay Cu Siu”. Sedangkan lagu klasik (dalem) yang tercatat relatif baru. Sebut sa ja: “Centeh Manis Berdiri”, “Mas No na”, “Gula Ganting”, “Semar Gu nem”, “Gula Ganting”, “Tanjung Bu rung”, “Kula Nun Salah”, dan “Mawar Tumpah”.
Sedangkan lagu-lagu pop (sayur), yang relatif telah menjadi klasik adalah “Jalija li”, “Stambul”, “Centeh Manis”, “Surilang”, “Persi”, “Balo-balo”, “Akang Haji”, “Renggong Buyut”, “Jepret Payung”, “Kramat Karem”, “Onde-onde”, “Gelatik Ngunguk”, “Lenggang Kangkung”, dan “Sirih Kuning”.
Tidak ada keterangan tahun penciptaan lagu-lagu di atas. Seolah lagu-lagu itu, pobin maupun lagu klasik, telah ada begitu saja dan telah sedemikian lama.
Evolusi
Gambang kromong yang kita kenal saat ini telah mengalami evolusi selama lebih 200 tahun. Sebagai seni musim pertunjukan, gambang kromong serangkaian dimodifikasi. Ketika keluar dari lingkung an elite masyarakat Tionghoa Batavia, gambang kromong menjadi permisif terhadap inovasi baru.
Ketika gambang kromong kali pertama dimainkan masyarakat Tionghoa Batavia pada 1743, etnis Betawi belum ada. Menggunakan studi Lance Castle, antropolog Dr Yasmine Zaki Shahab MA memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk antara 1815-1893.
Sensus Pemerintah Hindia-Belanda tahun 1893 menunjukkan lenyapnya sejumlah suku bangsa yang pernah mendiami kawasan pinggiran Kota Batavia: Moor, Jawa, Sunda, Sumbawa, Ambon, Banda, dan Melayu. Sebagai gantinya, sejumlah penduduk menyebut diri sebagai Betawi. Pada sensus 1930, Pemerintah Hindia-Belanda memunculkan kategori baru dalam lembar sensus, yaitu orang Betawi.
Catatan terakhir mengenai evolusi gambang kromong terdapat dalam majalah Pantjawarna—majalah pengganti mingguan Sin Po, yang tidak terbit sejak kedatangan Jepang—edisi 9 Juni 1949. Catatan itu berupa artikel hasil wawancara dengan Phoa Kian Soe, penulis naskah film dokumenter: “Anak Naga Beranak Naga, Gambang Kromong: Akulturasi Budaya Tionghoa Betawi”.
Dalam artikel itu, Kian Soe bertutur bagaimana dia harus mengitari Tangerang, Bekasi, dan sekujur Jakarta untuk menghimpun data soal gambang kromong dan repertoar klasiknya serta mencari tahu sejarah perkembangan kesenian itu dari masa ke masa. Ia mewawancarai pemain gambang kromong yang telah lanjut usia, tapi masih memiliki ingatan kuat.
“… saja telah bisa dapetken noot dari lagoe-lagoe, jang kebanyakan dari pemaen-pemaen orkest gambang djeman sekarang tida mengarti, terketjoeali marika jang paham hoeroef Tionghoa,” tulis Kian Soe.
Menurut Kian Soe, tidak ada yang tahu kapan orkes gambang—demikian kesenian ini kali pertama disebut—dimainkan. Cerita yang dituturkan orang-orang tua menyebutkan kesenian ini kali pertama diperkenalkan saat menyambut kembalinya Kapiten Nie Hoe Kong.
Nie Hoe Kong adalah tokoh pemberontakan di dalam Kota Batavia tahun 1740, yang menyebabkan pembantaian lebih 10 ribu Tionghoa. Ia dibuang ke Makassar oleh Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Pada 1743, Gubernur Jenderan Baron van Imhoff membebaskannya.
Lim Beng, panitia penyambutan, mengumpulkan lima perangkat orkes gambang. Setiap perangkat terdiri atas soekong, hosiang, thehian gihian, kongngahian, sambian, soeling, pan (ketjrek), dan ningnong. Saat itu, instrumen gambang belum masuk karena masya rakat Tionghoa masih mencari Yang Khim—alat musik khas tradisional Cina yang biasa dikombinasikan dengan soekong, hosiang, thehian, dan gihian. Mereka yakin kelak akan ada pendatang baru dari daratan Cina yang membawa Yang Khim.
Harapan tinggal harapan, alat musim itu tak pernah singgah di Batavia. Di luar tembok kota, gambang telah dimainkan sebagian masyarakat Tionghoa, tapi dengan cara berbeda. Menurut Kian Soe, di tangan orang Tionghoa dan pribumi sekitar, suara menjadi tidak halus, dan dimainkan di luar kaidah musik tradisional Jawa.
Tidak diketahui kapan gambang mulai menjadi bagian permainan musik Tionghoa di kota Batavia. Yang pasti, alat musik ini mulai coba dikombinasikan dengan soekong, thehian, kongahian, pan, sambian, dan gehian, setelah masyakat Tionghoa lelah menunggu Yang Khim.
“Pemaen-pemaen “Orkest Gambang” haroes ada orang-orang jang mengenal hoeroef Tionghoa, kerna goe na maenken lagoe-lagoe Pobin, marika moesti menoeroet betoel pada noot,” tulis Kian Soe.
Keharusan mengenal huruf Cina membuat gambang kromong pada awal perkembangannya tidak mungkin dimainkan masyarakat pribumi. Perge laran orkes gambang tidak ubahnya konser musik klasik di gedung-gedung kesenian di Barat karena di hadapan setiap pemain alat musik terdapat partitur.
Akibatnya, orkes gambang hanya dimainkan di rumah-rumah orang kaya; kaptoa (kapiten), kapja (letnan), dan siasia —atau anak-anak para kapten dan letnan. Orkes gambang kerap hadir di rumah-rumah mereka saat ulang tahun, perkawinan, atau pesta-pesta tertentu.
Kian Soe mencatat pada beberapa dekade awal, orkes gambang memainkan pobin dengan partitur. Pobin terdiri atas beberapa. “Matodjin”, “Si Djin Kwi Hwee Ke”, “Lui Kong”, “Tjoe Te Pan”, “Tjhia Pe Pan”, “It Ki Kim”, “Tay Peng Wan”, “Pek Bouw Tan”, “Tjay Tjoe Sioe”, dimainkan sebagai persembahan untuk yang berulang tahun (shejit).
Kim Hoa Tjoen, Lioe Tiauw Kim, Sie Say Hwee Ke, Ban Kim Hoa, Pat Sian Kwe Hay, Po Pan Tauw, Lian Hoa The, Tjay Tjoe Teng, Say Ho Liu, Hong Tian, Tjoan Na, Kie Seng Tjo, Tjiang Koen Leng, Tio Kong In, Sam Pauw Hoa, Pek Houw Tian, Kim Soen Siang, Phay In, dimainkan sebagai persembahan kepada para pembesar. Sedangkan Kong Ji Lok biasanya merupakan pembuka sebelum penyanyi (tjokek atau zangeres) membawakan lagu tertentu.
Di luar pobin, terdapat sejumlah lagu berbahasa Tionghoa dan Melayu. Lagu Tionghoa yang populer adalah Tauw Tiat, Dji Tiat, Sam Tiat, Tauw To, Dji Toh, Sam To, Si To, Gouw To, Lak To, Tjit To, dan Pe To. Sedangkan lagu berbahasa Melayu yang populer adalah Dempok, Temenggoeng, Menoelis, Engkosi Baba, Indoeng-indoeng, Mas Nona, Djoeng djang Semarang, Bong Tjeng Kawin, Koelannoen Salah, Bangliau, Goenoeng Pajoeng, Petjahpiring, dan Tandjoeng Boeroeng.
Semua lagu-lagu cenderung mendayudayu dan tidak bisa dijadikan pengiring dansa atau ngibing. Pun, tidak banyak yang piawai menyanyikan lagu itu karena membutuhkan kemampuan olah vokal prima. Jadi, hanya para cokek atau zangeres, penyanyi wanita gambang kromong, papan atas yang bisa menyanyikannya.
Pada 1949, Kian Soe pernah meminta beberapa grup gambang kromong dan banyak penyanyi memainkan lagu ini, tapi tidak satu pun yang bisa. Meski demikian, Kian Soe cukup gembira karena Lim Tjio San menuliskan not lagu di atas secara lengkap, kecuali Dempok.
Tidak ada yang tahu di mana Tjio San menyimpan partitur ini. Kalaupun ditemukan, mungkin tidak ada lagi yang bisa membaca partitur itu dan memainkannya.
(dikutip dari naskah Teguh Setiawan di rubrik Teraju-Republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar