Sejak awal perkembangannya, orkes gambang bukan sekadar musik pengiring para penyanyi, atau dipergelarkan layak orkes simfoni, tapi sering dimainkan sebagai musik latar pertunjukan teater dan pengiring tarian (ngibing).
Teater pertama bukan lenong Betawi seperti kita kenal saat ini, tapi sandiwara Cina. Pemainnya adalah pria dan wanita belum dewasa, atau di bawah umur. Tidak ada catatan ba gaimana teater itu dimainkan. Phoa Kian Soe hanya mengatakan, teater dimainkan dalam bahasa Tionghoa.
Cerita yang ditampilkan kebanyakan dari daratan Cina. Salah satunya, dan merupakan cerita silat, adalah Sie Djin Kwi Tjeng Tang. Kian Soe juga tidak menyebut cerita-cerita lainnya, karena pada 1940-an tidak ada lagi yang mewarisi. Lenong Tionghoa, sebut saja begitu, relatif telah hilang dari panggung pertunjukan masya rakatnya, karena hampir tidak ada upaya menelusuri dan menemukannya kembali. Terlebih, masyarakat peranakan Tionghoa yang lahir di pertengahan abad ke-19 relatif mulai meninggalkan bahasa leluhurnya.
Lenong Betawi baru muncul di penghujung abad ke-19, dan berkembang di awal abad ke-20. Almarhum Firman Muntaco mengatakan, lenong Betawi bukan adaptasi dari Cina, tapi teater stambul.
Menjadi Gambang Kromong
Sejarawan Betawi mengenal Oey Tamba Sia sebagai playboy yang mati di tiang gantungan dan relatif mengabaikan peran sang letnan dalam bis nis suhian di Batavia. Suhian adalah rumah plesir atau tempat hibur an–ti dak beda dengan coffee house atau diskotek saat ini.
Namun, kata suhian hanya digunakan untuk rumah plesir biasa, bu kan milik para orang kaya. Rumah ple sir milik letnan, mayor, atau kapi ten, disebut empang atau kebon. Ti dak ada keterangan mengapa kedua kata digunakan untuk rumah plesiran.
Yang pasti, Bintang Mas–rumah plesir yang didirikan Oey Tamba Sia di Ancol– dikelilingi empang. Mayor Tan Eng Goan, pesaing serius Tamba Sia, membuat rumah plesir di Kebon Baru, yang diberi nama Kebon Mayor.
Di penghujung abad ke-19, sejumlah suhian berdiri di Pasar Baroe, Tanah Abang, dan Pasar Senen. Tan Wang Wee, salah satu pebisnis suhian pascaera Oey Tamba Sia, mengelola rumah plesiran di Senen.
Setiap suhian memiliki kelompok pemain orkes gambang dan beberapa penyanyi serta gadis-gadis yang siap diajak ngibing. Bagi pemain gambang, menjamurnya suhian adalah lahan pekerjaan paling menarik.
Akibatnya, muncul kelompok-kelompok orkes gambang, tidak hanya dari kalangan Tiong hoa tapi juga pribumi. Persaingan antarkelompok orkes gambang tak terhindarkan. Per saing an inilah yang memicu revolusi musim orkes gambang.
Revolusi paling berani dilakukan Teng Tjoe, seorang kepala permukiman (wijkmeester)– sering pula disebut bek– Tionghoa, pada 1880. Ia memasukkan unsur kemong, kempul, gendang, dan gong, ke dalam orkes gambang, dan dimainkan di suhian milik Tan Wang Wee.
Orkes gambang tidak lagi mendayudayu, tapi dinamis. Pukulan gen dang khas Sunda memprovokasi pengunjung suhian untuk turun me nari, wanita penghibur dan tjio kek meng ikat kan cukin (selendang–Red) seba gai tanda mengajak pengunjung untuk menari.
Sejak saat itu masyarakat tidak lagi menyebutnya orkes gambang, tapi gambang kromong. Kelompok Teng Tjoe tak pernah sepi panggilan dari satu ke lain suhian. Puncak popularitasnya terjadi ketika kelompok Teng Tjoe tampil pada perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Sukses eksperimen Teng Tjoe di Pasar
Senen memprovokasi Nam Ho, seorang
bek di Tanah Tinggi, mela kukan hal
serupa. Ia memasukkan unsur baru,
yaitu menabuh mangkok Cina yang diisi
air. Eksperimen ini juga menarik perha -
tian, tapi sulit dimainkan di tempat
terbuka.
Di Kwitang, Tjoe Kong Koen melakukan eksperimen lain. Ia memadukan gambang kromong dengan piano dan menyebutnya gambang piano. Eksperimen ini sempat mena rik perhatian penikmat musik saat itu, tapi tidak lama.
Booming suhian dan keberanian pelaku permainan orkes gambang melakukan eksperimen, tak luput dari perhatian masyarakat Tionghoa kelas atas di Batavia. Mereka menyebut gambang kromong sebagai orkes gambang liar. Para panjak, atau pemain gambang kromong, dituding telah merusak kaidah asli orkes gambang.
Akibatnya, menjadi panjak bukan lagi profesi terhormat. Bahkan, menurut Kian Soe, nyonya terhormat menyebut panjak sebagai setan su hian. Di sisi lain, suhian bukan lagi sekadar rumah plesir para orang ka ya untuk mendengar penyanyi ‘piaraan’-nya beraksi, tapi berubah menjadi tempat prostitusi.
Perempuan pribumi dari desa-desa di pinggir Batavia, tanpa kemampuan menyanyi, datang mengisi suhian dan menjadi teman ngibing dan menjual tubuh. Pelanggannya bukan lagi babababa, atau orang-orang kaya, tapi anakanak muda kelas menengah Tionghoa.
Kalangan kelas menengah atas masyarakat Tionghoa merespons situasi ini dengan melarang anak-anak mereka bermain musik. Mereka menyebut pemain gambang kromong bermoral rendah, dan tidak tahu malu. Masih banyak lagi kata-kata tak sedap disematkan kepada pemain gambang kromong saat itu.
Reaksi itu tidak menghentikan perkembangan gambang kromong sebagai musik populer. Gambang kromong perlahan tapi pasti mengubur eksistensi orkes gambang dengan suara tjiokek-nya yang mendayu-dayu, dan meminggirkan pemainnya.
Kalangan generasi tua Tionghoa tidak diam. Kian Soe mencatat tahun 1913, sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa di Batavia; Boe Gie Hong, Tan Tjoen Hong alias Endong, Lim Tjio San alias Serang, Tan Jan Tji, dan masih banyak lagi, menemui Khoe Siauw Engsekretaris Majelis Kongkoan Batavia.
Mereka menyampaikan kegundahan akan terpinggirkannya orkes gambang, akibat serbuan gambang kromong. Lagu-lagu orkes gambang tidak lagi dimainkan dengan kaidah yang benar dan sesuai partitur, tapi dirusak sedemikian rupa.
Khoe Siauw Eng, yang memahami orkes gambang dengan baik, merespons positif pengaduan mereka. Ia menyediakan diri untuk diangkat sebagai pemimpin kelompok orkes gambang Ngo Hong Lauw, mendirikan klub, dan mengampanyekan pentingnya melestarikan orkes gambang.
Upaya Siauw Eng tak sia-sia. Siauw Eng memanfaatkan popularitasnya sebagai sekretaris Majelis Kongkoan untuk menghimpun anggota klub, dan berhasil. Ketika anggota klub sedemikian banyak, Siauw Eng memindahkan tempat permainan orkes gambang ke gedung yang lebih besar.
Setiap pekan, atau pada hari-hari tertentu, Siauw Eng dan para penggede Tionghoa di Batavia berkumpul untuk menikmati orkes gambang, dengan la gu-lagu yang dimainkan sesuai kaidah aslinya. Namun, hanya itu yang bisa dilakukan Siauw Eng. Ia tidak bisa melebarkan sayapnya, dengan membentuk perkumpulan lain di beberapa tempat.
Entah sampai berapa lama orkes gambang kembali populer sebagai mu sik kelas menengah ke atas. Di sisi lain, gambang kromong kian mapan se bagai musik kelas menengah ke ba wah. Tidak lagi melulu dimainkan masyarakat Tionghoa, tapi juga pribumi.
Ngo Hong Lauw melewati dua masa krisis; kematian Siauw Eng dan pendudukan Jepang. Mereka bisa melewatinya berkat bantuan keuangan Tan Liauw Lioe dan Nio Djit Seng. Selepas tahun 1960, orkes gambang warisan Tionghoa Batavia benar-benar telah punah akibat tidak adanya regenerasi.
Sedangkan gambang kromong kian mapan dan mapan, dan pada 1970-an mencapai puncak keemasannya dengan munculnya Benjamin S, Ida Royani, Lilis Suryani, dan lainnya. Sebagai musik rakyat, gambang kromong menunggu inovasi baru dan eksperimen kreatif pelakunya.
(dikutip dari naskah Teguh Setiawan di Rubrik Teraju-Republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar