Selasa, 21 Juni 2011

Sepenggal Sejarah Inggris di Dalam Ironclad


Sejauh manakah Anda mengenal sistem monarki konstitusional di Inggris? Ups, tulisan ini bukan berniat mengajak Anda untuk mengenal tentang seluk beluk sistem pemerintahan. Ya, tulisan ini memang bukanlah sebuah ujian buat Anda! Tetapi jika Anda masih awam tentang monarki konstitusional di Inggris maka film Iron Clad setidaknya akan mengajak Anda untuk selintas memahaminya.

Film indie garapan Jonathan English Ini  menyitir kisahnya dari sebuah peristiwa bersejarah di Inggris. Sebuah penggalan sejarah yang pernah lahir pada abad pertengahan, 1215 Masehi. Pada periode waktu tersebut terlahirlah sebuah kesepakatan penting bernama Magna Carta. Sebuah piagam yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja.

Tapi apakah esensi bersejarah itu akan terasa garing ketika diadaptasikan rangkaian ceritanya ke sebuah film berdurasi 121 menit? Tidak! Jonathan English, Erick Kastel, dan Stephen McDool yang menjadi penulis cerita dan skenario, paham benar tuntutan sebuah film yang menghibur.

Di dalam film ini dihadirkan juga kisah asmara yang terjadi pada seorang ksatria templar Marshall Thomas (James Purefoy) dengan Isabel (Kate Mara). Ksatria templar ini merujuk pada pengertian legiun pasukan perang dan pengawal kepercayaan raja yang ikut serta secara aktif menjadi pasukan Perang Salib.

Lalu yang tak akan kalah membuat adrenalin Anda bakal bergolak, film ini memperlihatkan adegan-adegan kekerasan yang nyaris mendekati nyata. Mari kita bayangkan bagaimana perasaan Anda ketika seorang manusia, bagian kaki dan tangannya dipancung. Lalu dari proses itu diperlihatkan cucuran darah yang terlihat merah segar! Hmm...

Potret-potret kekejaman itu bukanlah sebuah rekaan. Tapi potret itu sepertinya ingin mengajak para penonton bahwa berdiri tegaknya kebebasan atau monarki konstitusional di Inggris itu juga harus diwarnai dengan pengorbanan melalui beragam aksi kekerasan.

Periode brutal dan kegelapan itu ditandai ketika Raja John (Paul Giamatti) berkuasa. Saat itu para bangsawan dan templar melakukan pemberontakan terhadap kelaliman sang raja. Dalam tahapan itu ditandai dengan hadirnya kesepakatan piagam Magna Carta. Tetapi konflik dari film ini dihadirkan ketika Raja John berupaya melakukan aneksasi terhadap benteng Rochester. Benteng ini menjadi tempat strategis untuk bisa menguasai wilayah selatan Inggris.



Usaha aneksasi Raja John itu berlatar amarah setelah ia telah dipaksa untuk menandatangani piagam Magna Carta. Salah satu penandatangan piagam itu adalah Baron Albany (Brian Cox). Albany menentang perilaku raja yang megalomaniak dan haus darah. Ia memimpin aksi pemberontakan terhadap Raja. Ia kemudian mengumpulkan sekelompok prajurit yang mendapat restu dari pemimpin gereja.

Dari sekelompok prajurit itu ada Ksatria Templar yang dihantui rasa bersalah atas kekejaman yang telah ia lakukan selama perang salib. Lalu ada juga Beckett (Jason Flemyng) yang tidak hanya berjuang untuk Tuhan dan negaranya tetapi juga haus darah dan berperang demi mendapatkan bayaran.

Kemudian dari para kelompok prajurit pimpinan Albany itu ada juga tokoh bernama Guy (Aneurin Barnard) yang merasakan bagaimana pengalaman membunuh dan berperang untuk kali pertama dalam hidupnya. Total prajurit yang dipimpin Albany ketika berada di benteng Rochester itu hanya berjumlah 20 personel. Mereka berperang melawan seribu balatentara bayaran Raja John. Pertempuran ini berlangsung cukup lama.

Selama periode perang itulah tersaji beragam adegan-adegan yang boleh jadi membuat Anda bakal menutup mata karena tak kuasa melihat kepingan-kepingan tubuh manusia harus terpisah dari tubuhnya. Tetapi sekali lagi, film ini bukan berniat untuk menjual kekerasan. Namun di balik semua itu, film yang disutradarai oleh Jonathan English ini sarat dengan pesan-pesan humanis seperti pentingnya kesetiaan, keberanian dan tak alpa tentunya; cinta!
n mohammad akbar 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar