Cerita-cerita SMS Penyedot Pulsa (Bagian 3 dari tiga tulisan)
Maraknya kejahatan sedot pulsa melalui SMS dan modus penipuan serupa lainnya dinilai tak lepas dari regulasi yang masih memiliki celah sehingga dimanfaatkan oleh pelaku atau content provider untuk menjalankan aksinya. Celah itu, kata pakar telematika Ruby Alamsyah, ada di peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.
Ruby mencontohkan, isi peraturan tersebut yang hanya melarang penarikan biaya saat proses registrasi. Akibatnya, penyedia konten SMS dengan seenaknya mengenakan biaya untuk SMS selanjutnya yang dikirim sesuka hati, meski kontennya tak lagi sesuai dengan isi penawaran kali pertama.
Peraturan juga tidak tegas meminta penyedia jasa layanan mempermudah proses unreg atau penghentian langganan layanan SMS. Akibatnya, masyarakat kerap kesulitan bila ingin berhenti berlangganan. Menurut Ruby, sistem registrasi nomor prabayar yang tidak diatur secara ketat dan rigid dalam peraturan menteri perlu diperhatikan.
Hal ini karena 93 persen pelanggan layanan telekomunikasi menggunakan sistem prabayar. "Saat ini, proses registrasi masih terlalu mudah sehingga seseorang bisa menggunakan identitas asal-asalan atau palsu," kata Ruby, Ahad (9/10). Akibatnya, pengguna nomor telepon dengan identitas palsu sulit terlacak.
Ditambah lagi, papar Ruby, sekarang penipuan melalui SMS semakin terorganisasi. Pelaku menggunakan SMS Server Gateway. Dengan teknologi tersebut, mereka bisa mengirimkan SMS pada banyak orang dengan bantuan mesin. Makanya, ketika pelanggan mencoba menelepon nomor yang tertera pada isi SMS penipuan itu, mereka tak akan mendapatkan jawaban.
Menurut Ruby, cara paling efektif untuk mencegah masalah ini adalah dari pelanggan sendiri. Masyarakat diingatkannya untuk tidak mudah terjebak dengan SMS dan layanan semacam itu. Dengan makin banyaknya orang yang tidak mudah tertipu, pelaku juga akan malas untuk mengirimkan SMS sedot pulsa.
Ruby pun meminta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk lebih tegas terhadap para penyedia konten atau layanan nakal. BRTI memiliki kewenangan untuk menertibkan content provider. Selama ini, dia menilai, BRTI takut bila ketegasan mereka terhadap penyedia konten akan memengaruhi perkembangan industri kreatif di Indonesia. "BRTI tidak perlu takut, karena industri ini akan terus berjalan selama masih ada kreativitas."
Sekjen Asosiasi Penyedia Konten dan Layanan Telepon Seluler (Imoca) Ferrij Lumoring menegaskan, BRTI jangan segan-segan menindak penyedia konten yang tidak memegang etika. BRTI dimintanya proaktif mencari dan menemukan penyedia konten nakal. "Ulah mereka jangan dibiarkan," desaknya.
Ferrij mengakui, penipuan SMS dari tahun ke tahun terus berkembang. Bila dulu hanya berupa SMS nomor pendek (empat digit), misalnya 92XX atau 93XX, sekarang memakai teknologi UMB (USSD Menu Browser), misalnya, *567*77# atau *393*80# dan memakai WAP (URL). Akibatnya, pelanggan tidak mudah melakukan penghentian konten (unreg).
Untuk menertibkan pelanggaran hukum ini, Presiden Direktur PT Alpha Omega Wahan Nusantara Tjandra Tedja menambahkan, BRTI harus meningkatkan pengawasannya terhadap bisnis ini. Sanksi undang-undang yang diberlakukan dalam menjalankan bisnis ini telah jelas. BRTI sudah dibekali Peraturan Menteri (Permen) No 1/Per/M.Kominfo/01/2009 yang dikeluarkan pada 8 Januari 2009 lalu.
"Jadi, ada konsekuensi yang jelas bila bertindak nakal dalam menjalankan usaha," kata Tjandra. Tak hanya BRTI, Tjandra menyatakan, operator pun harus menindak tegas sejumlah penyedia konten nakal. Operator harus memutus kontrak penyedia konten karena melanggar perjanjian kerja sama. Penyedia konten tidak menyediakan produk yang sesuai dengan perjanjian awal dan justru merugikan masyarakat.
Tjandra mengakui, memang ada satu dua oknum content provider yang nakal. Dia mengatakan, ada etika yang harus dipatuhi penyedia konten, misalnya, keharusan menjual barang seperti yang telah dijanjikan kepada pelanggan. Penyedia konten tidak boleh mengelabui dan jangan mempersulit pelanggan. Pelanggan harus diberi kemudahan bila ingin berhenti berlangganan.
Komisioner BRTI Danrivanto Budhijanto mengatakan, BRTI maupun Kemenkominfo tidak memiliki peraturan khusus untuk mengatur etika bagi penyedia konten. Bahkan, hingga saat ini penyedia konten tidak wajib melaporkan keberadaannya kepada regulator. "Registrasi bagi penyedia konten sifatnya hanya sukarela atau tidak dipaksakan."
Ini terjadi karena regulator tidak pernah terpikir bisnis penyedia konten akan sangat berkembang seperti saat ini. Budhijanto menyebutkan, sekarang ada sekitar 2.000 penyedia konten. Namun, dia berpendapat, memperketat aturan tidak sepenuhnya benar, karena industri ini masih terus tumbuh dan terkait kelangsungan industri kreatif. (sumber: republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar