Senin, 10 Oktober 2011

Ingat, Kiamat 12 Hari Lagi

Hi semua....Ini ada artikel ringan yang saya comot dari Tempointeraktif.com. Mau tahu tentang kiamat? Benarkah kiamat itu sudah semakin dekat. Yuk, simak artikel berikut ini....




Meski sudah dua kali salah, peramal kiamat asal California, Amerika Serikat, Harold Camping tetap pada keyakinannya bahwa "hari akhir" bakal terjadi pada 21 Oktober atau 12 hari lagi dari sekarang. 


Meski begitu, kata dia, orang-orang ingkar terhadap Tuhan tidak akan mengalami penderitaan lantaran dunia akan berakhir dengan cara tenang. “Pada saat itu seluruh dunia akan hancur,” kata lelaki 90 tahun ini, Ahad, 9 Oktober 2011, dalam khotbah yang disampaikan melalui Open Forum yang disiarkan jaringan Family Radio miliknya.

Sebelumnya Camping sudah dua kali salah meramalkan datangnya "hari kehancuran". Pertama pada 1994 dan terakhir pada 21 Mei lalu. Ketika itu ia sempat bersembunyi selama tiga hari setelah tidak terjadi apa-apa. Ia muncul dengan alasan proses kimat baru dimulai dan bakal berakhir pada 21 Oktober tahun ini. 

Berbeda dengan peringatan-peringatan sebelumnya, kali ini jadwal kiamat mutakhir tidak disertai spanduk, papan iklan, atau iklan di media seperti yang dilakukan sebelumnya, sejak Tuhan sudah memilih siapa saja yang bakal masuk surga pada 21 Mei lalu. Dia merasa tidak perlu lagi mengkampanyekan soal kiamat. 

Pastor dari aliran Kristen Evangelis ini sempat diserang stroke ringan awal Juni lalu saat berkhorbah di radio. Ia sempat dirawat di rumah sakit dan baru pulih awal bulan ini. Banyak orang menilai stroke itu sebagai azab dari Tuhan. 

Celah Regulasi yang Lemah


Cerita-cerita SMS Penyedot Pulsa (Bagian 3 dari tiga tulisan)

Maraknya kejahatan sedot pulsa melalui SMS dan modus penipuan serupa lainnya dinilai tak lepas dari regulasi yang masih memiliki celah sehingga dimanfaatkan oleh pelaku atau content provider untuk menjalankan aksinya. Celah itu, kata pakar telematika Ruby Alamsyah, ada di peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.

Ruby mencontohkan, isi peraturan tersebut yang hanya melarang penarikan biaya saat proses registrasi. Akibatnya, penyedia konten SMS dengan seenaknya mengenakan biaya untuk SMS selanjutnya yang dikirim sesuka hati, meski kontennya tak lagi sesuai dengan isi penawaran kali pertama.

Peraturan juga tidak tegas meminta penyedia jasa layanan mempermudah proses unreg atau penghentian langganan layanan SMS. Akibatnya, masyarakat kerap kesulitan bila ingin berhenti berlangganan. Menurut Ruby, sistem registrasi nomor prabayar yang tidak diatur secara ketat dan rigid dalam peraturan menteri perlu diperhatikan.

Hal ini karena 93 persen pelanggan layanan telekomunikasi menggunakan sistem prabayar. "Saat ini, proses registrasi masih terlalu mudah sehingga seseorang bisa menggunakan identitas asal-asalan atau palsu," kata Ruby, Ahad (9/10). Akibatnya, pengguna nomor telepon dengan identitas palsu sulit terlacak.

Ditambah lagi, papar Ruby, sekarang penipuan melalui SMS semakin terorganisasi. Pelaku menggunakan SMS Server Gateway. Dengan teknologi tersebut, mereka bisa mengirimkan SMS pada banyak orang dengan bantuan mesin. Makanya, ketika pelanggan mencoba menelepon nomor yang tertera pada isi SMS penipuan itu, mereka tak akan mendapatkan jawaban.

Menurut Ruby, cara paling efektif untuk mencegah masalah ini adalah dari pelanggan sendiri. Masyarakat diingatkannya untuk tidak mudah terjebak dengan SMS dan layanan semacam itu. Dengan makin banyaknya orang yang tidak mudah tertipu, pelaku juga akan malas untuk mengirimkan SMS sedot pulsa.

Ruby pun meminta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk lebih tegas terhadap para penyedia konten atau layanan nakal. BRTI memiliki kewenangan untuk menertibkan content provider. Selama ini, dia menilai, BRTI takut bila ketegasan mereka terhadap penyedia konten akan memengaruhi perkembangan industri kreatif di Indonesia. "BRTI tidak perlu takut, karena industri ini akan terus berjalan selama masih ada kreativitas."

Sekjen Asosiasi Penyedia Konten dan Layanan Telepon Seluler (Imoca) Ferrij Lumoring menegaskan, BRTI jangan segan-segan menindak penyedia konten yang tidak memegang etika. BRTI dimintanya proaktif mencari dan menemukan penyedia konten nakal. "Ulah mereka jangan dibiarkan," desaknya.

Ferrij mengakui, penipuan SMS dari tahun ke tahun terus berkembang. Bila dulu hanya berupa SMS nomor pendek (empat digit), misalnya 92XX atau 93XX, sekarang memakai teknologi UMB (USSD Menu Browser), misalnya, *567*77# atau *393*80# dan memakai WAP (URL). Akibatnya, pelanggan tidak mudah melakukan penghentian konten (unreg).

Untuk menertibkan pelanggaran hukum ini, Presiden Direktur PT Alpha Omega Wahan Nusantara Tjandra Tedja menambahkan, BRTI harus meningkatkan pengawasannya terhadap bisnis ini. Sanksi undang-undang yang diberlakukan dalam menjalankan bisnis ini telah jelas. BRTI sudah dibekali Peraturan Menteri (Permen) No 1/Per/M.Kominfo/01/2009 yang dikeluarkan pada 8 Januari 2009 lalu.

"Jadi, ada konsekuensi yang jelas bila bertindak nakal dalam menjalankan usaha," kata Tjandra. Tak hanya BRTI, Tjandra menyatakan, operator pun harus menindak tegas sejumlah penyedia konten nakal. Operator harus memutus kontrak penyedia konten karena melanggar perjanjian kerja sama. Penyedia konten tidak menyediakan produk yang sesuai dengan perjanjian awal dan justru merugikan masyarakat.

Tjandra mengakui, memang ada satu dua oknum content provider yang nakal. Dia mengatakan, ada etika yang harus dipatuhi penyedia konten, misalnya, keharusan menjual barang seperti yang telah dijanjikan kepada pelanggan. Penyedia konten tidak boleh mengelabui dan jangan mempersulit pelanggan. Pelanggan harus diberi kemudahan bila ingin berhenti berlangganan.

Komisioner BRTI Danrivanto Budhijanto mengatakan, BRTI maupun Kemenkominfo tidak memiliki peraturan khusus untuk mengatur etika bagi penyedia konten. Bahkan, hingga saat ini penyedia konten tidak wajib melaporkan keberadaannya kepada regulator. "Registrasi bagi penyedia konten sifatnya hanya sukarela atau tidak dipaksakan."

Ini terjadi karena regulator tidak pernah terpikir bisnis penyedia konten akan sangat berkembang seperti saat ini. Budhijanto menyebutkan, sekarang ada sekitar 2.000 penyedia konten. Namun, dia berpendapat, memperketat aturan tidak sepenuhnya benar, karena industri ini masih terus tumbuh dan terkait kelangsungan industri kreatif. (sumber: republika.co.id)

Ramai-Ramai Bantah Rugikan Pelanggan




SMS Penyedot Pulsa (Bagian 2 dari tiga tulisan)

Operator telepon seluler maupun content provider yang memasok SMS premium ramai-ramai membantah keterlibatan mereka dalam aksi sedot pulsa. Mereka tak mau ikut terseret masalah yang belakangan ini marak diberitakan di media massa.

Sekalipun, Kementerian Komunikasi dan Informatika jelas telah memperoleh 9.000 laporan dari masyarakat soal sedot pulsa atau penipuan melalui SMS. Aduan itu mereka sampaikan melalui Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sejak Juli 2011 lalu.

Operator ponsel yang bekerja sama dengan content provider bahkan mengklaim mereka kini mempunyai cara ampuh menangkal segala macam modus penipuan lewat saluran ponsel. Termasuk, langkah memperbarui teknologi seiring semakin barunya modus  pelaku menjerat korban.

Head of Corporate Communication Indosat Djarot Handoko mengatakan, modus penipuan dengan layanan SMS premium sudah lama terjadi. Tetapi, caranya selalu berubah. "Kalau diperhatikan, caranya semakin apik dan canggih," katanya kepada Republika, Jumat (7/10).

Indosat, kata Djarot, memiliki mekanisme pencegahan sehingga tak merugikan pelanggannya. Strategi ini juga sanggup menangkap praktik penipuan yang memanfaatkan layanan SMS dengan berbagai modus. Menurutnya, keluhan pelanggan yang dialamatkan kepada pihaknya selalu ditanggapi dan ditindaklanjuti.

Sejauh ini, keluhan yang masuk ke Indosat telah menyusut 400 persen setelah diterapkannya mekanisme baru. Persentase itu selalu diperbarui setiap dua pekan sekali sehingga grafik keluhan dan perbaikan bisa terlihat dan ditindaklanjuti. Dalam jangka pendek, sebut Djarot, Indosat menerapkan reminder ke pelanggan ring back tone (RBT) yang akan melanjutkan layanan dengan info 'how to unreg'.

Ada pula perubahan mekanisme dengan selalu mengonfirmasi ulang bagi layanan yang diakses melalui UMB, WAP, dan SMS. Ada juga rencana jangka pendek untuk meniadakan auto registrasi melalui UMB ataupun WAP, setiap notifikasi konfirmasi ulang selalu disertai informasi 'how to unreg', dan rekonsiliasi data antara Indosat dan content provider.

Djarot menyatakan, rencana jangka pendek itu sudah dikerjakan semua. Kini tinggal rencana menengah dan jangka panjang yang masih diproses dan mungkin baru pekan depan bisa diwujudkan. Indosat akan menerapkan WAP landing page untuk konfirmasi terakhir jika pelanggan akan berlangganan layanan konten dan single short code untuk unreg.

Rencana jangka panjang yang mulai dilaksanakan pada 2012, Indosat akan berkonsentrasi pada pull service, bukan push berlangganan. Landing page reconfirmation, no auto registration, dan reconcile all data with content provider, diyakininya bisa mengurangi keluhan pelanggan. ''Prosedur penanganan keluhan pun terus disempurnakan,'' papar Djarot.

Sementara itu, GM Corporate Communication Telkomsel Ricardo Indra meyakinkan, mekanisme kebijakan yang diterapkan Telkomsel cukup kuat mencegah kerugian pelanggan. ''Telkomsel memiliki mekanisme kebijakan internal untuk mencegah hilangnya pulsa pelanggan akibat layanan konten,'' kata Ricardo.

Caranya, dengan menyeleksi mitra content provider yang menawarkan layanan konten tertentu. Telkomsel, kata Ricardo, mensyaratkan content provider harus dapat menyajikan informasi perihal layanan kontennya secara transparan dan jelas kepada pelanggan. Mekanisme unreg alias berhenti berlangganan juga dipermudah dengan hanya satu kali klik dibandingkan cara berlangganan yang mesti dua kali klik.

Bagi pelanggan yang mengetik unreg, off, atau stop, ataupun terminologi yang mengandung arti berhenti, maka Telkomsel akan menghentikan pengiriman konten layanan tersebut. Ricardo menegaskan, jika terbukti ada pelanggaran oleh content provider, Telkomsel tak segan menjatuhkan sanksi sesuai tingkat pelanggarannya. Sanksi terberat adalah pemutusan hubungan kerja.

Pemerintah sejauh ini belum menjatuhkan sanksi apa pun kepada operator ataupun content provider. Menkominfo Tifatul Sembiring baru sebatas mengancam memberikan sanksi dengan alasan mereka membantah terlibat sedot pulsa. Dalam pertemuan dengan Menkominfo Rabu (5/10) lalu, para operator menyanggah jika SMS nakal itu bagian dari bisnis mereka. "Para operator menjamin itu bukan bagian dari bisnisnya," ungkap Tifatul.

Tifatul telah mengingatkan operator untuk menyetop layanan yang dicurigai menyedot pulsa pelanggan. Dalam pertemuan itu juga diketahui layanan penyedot pulsa bernomor empat karakter. "ABCD saya sebut begitu. Kalau 08XXXXX yang panjang itu bisanya menipu," jelas Tifatul.

Salah satu perusahaan content provider yang telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena dicurigai melakukan praktik sedot pulsa, PT Colibri Network, juga membantah telah melakukan penipuan. Pemilik konten SMS premium dengan nomor *933*33# ini malah balik mengancam akan menuntut pelapor. ''Kami akan melakukan upaya hukum baik pidana atau perdata kepada semua pihak yang merugikan perusahaan,'' ancam kuasa hukum PT Colibri Tri Novanto.

PT Colibri dilaporkan oleh Mochamad Feri Kuntoro karena SMS premium yang ditawarkan dianggap telah menyedot pulsanya. Langganan SMS inipun sulit dihentikan meski Feri telah berulang kali melakukan unreg. Feri juga telah mendatangi layanan pelanggan operator ponselnya, tapi hasilnya tetap nihil.

Menurut Tri, layanan SMS premium kliennya memang bekerja sama dengan beberapa operator ponsel. Dia mengklaim segala sesuatu yang terdapat dalam layanan SMS telah diinformasikan jelas kepada para pelanggan. Laporan Feri dianggapnya mengada-ada dan telah mencemarkan nama baik perusahaan.

Berkedok Kuis dan Penawaran Jasa Layanan


Cerita tentang SMS Penyedot Pulsa 
(Bagian 1 dari tiga tulisan)

Siang hari sekitar dua bulan lalu, ponsel Nokia milik Devi Anggraini berbunyi. Satu SMS diterimanya. Namun, isinya bukan sapaan dari kawan ataupun keluarga, melainkan SMS berisi ucapan terima kasih karena telah menggunakan layanan Facebook dan diperpanjang untuk tiga hari ke depan.

Spontan keningnya berkerut. Seingatnya, ia tak pernah mendaftarkan diri untuk mengikuti satu layanan yang ditawarkan provider Flexi ini. Apalagi, ponselnya sudah sekitar lima bulan tidak terlalu aktif dipakainya. "Ya, saya cuekin saja karena saya tidak pernah merasa registrasi," katanya kepada Republika, Kamis (6/10).

Tetapi, SMS serupa diterimanya setiap pekan selama tiga kali berturut-turut. Kesal dan bertanya-tanya, perempuan asal Gresik, Jawa Timur, ini pun lantas mengecek sisa pulsanya. Ternyata, hal yang dianggap remeh ini berdampak pada jumlah pulsa yang dimilikinya.

Devi ingat betul sebelum SMS itu muncul, pulsa di ponselnya masih berkisar Rp 20 ribu. Setelah itu berkurang drastis hingga Rp 13 ribu. "HP itu jarang saya pakai. Kalaupun dipakai, saya tidak pernah menelepon hingga menghabiskan Rp 7.000 atau berkurang secepat itu. Sudah saya hitung-hitung," ujarnya yakin.

Artinya, setiap mendapatkan SMS itu pulsanya berkurang sekitar Rp 2.000. Memang, jumlah itu bukan angka yang besar. Tetapi, Devi mengaku kesal.

Dari situlah ia berinisiatif mengadukan kejadian ini ke call center provider tersebut. Cara untuk unregister pun diberitahukan. Tetapi, dicoba berkali-kali selalu gagal.

Anehnya, nomor tujuan untuk unregister tidak sama dengan nomor tujuan awal yang bernada memberitahukan telah mengikuti satu layanan. Waktu menerima SMS pertama kali, ada tujuh atau lima digit. Tetapi, saat hendak mengajukan unreg cuma empat digit.

Karena kesal, Devi kemudian menelepon call center lagi. Emosi pun sempat meledak. Ia tak mau tahu, persoalan pemotongan pulsa secara ilegal itu harus dihentikan. "Saya tidak pernah registrasi dan nggak mau pulsa saya kepotong untuk hal yang tidak saya lakukan," ujarnya waktu itu.

Barulah call center yang bersangkutan merespons lebih serius. Tapi, hingga kini belum ada kabar yang menyatakan nomornya sudah 'sehat' dari SMS yang menyedot pulsa itu. Ponselnya pun dibiarkan menganggur dan tak lagi dia gunakan.

Kasus SMS premium yang kerap dikeluhkan masyarakat ini beberapa hari terakhir meledak lagi. Ulah content provider yang secara sepihak memotong pulsa konsumen dinilai telah meresahkan, seperti yang dialami Devi tadi. Padahal ulah nakal penyedia jasa SMS itu termasuk perbuatan pidana.

Serupa tapi tak sama, kejadian seperti itu juga pernah dialami Astuti Ningsih yang pulsanya habis karena mengikuti kuis-kuis SMS yang muncul tanpa diundang. "Saya pakai XL dan pulsa sering habis karena kuis-kuis entah apa gitu. Padahal cuma sekali registrasi," katanya.

Meski cuma sekali mendaftar, nyatanya Astuti tak bisa keluar dari jeratan kuis itu. Awalnya, dia hanya berniat coba-coba dan tak terlalu mempersoalkan biaya pulsa. Tetapi, setelah SMS datang bertubi-tubi dan pulsanya terus berkurang Rp 2.000 per hari, barulah dia merasa dirugikan.

Apalagi, SMS sedot pulsa itu tetap saja datang meski ia sudah mencoba menghentikannya dengan mengirim pesan unreg. "Sudah di-unsub, di-unreg, eh nggak ilang-ilang. Pulsa tetap kesedot juga," ujarnya geram. Kecewa, ia lalu tak memakai lagi nomor ponselnya dan mengganti dengan nomor provider lain.

Brilianing Pratiwi mengalami modus sedot pulsa dengan berbagai gaya. Mulai dari SMS yang menawarkan alat elektronik, kupon, hingga SMS yang mengaku sebagai kekasih. Ia menceritakan, terakhir SMS sejenis itu diterimanya sekitar sepekan lalu. Isinya menawarkan barang elektronik dengan harga miring.

Karena tak tertarik, ia pun tak meresponsnya. SMS lainnya pun mampir ke ponselnya. Kali ini menawarkan kupon wisata. Lagi-lagi karena tidak tertarik, SMS itu diabaikan. Begitu pula SMS yang mengaku sebagai kekasihnya.

Tetapi, wanita yang biasa disapa Tiwi ini belakangan menyadari pulsanya selalu berkurang setiap mendapatkan SMS-SMS itu. Pulsanya memang tidak berkurang secara berkala setiap pekan atau bulan. Namun, dia juga bingung bagaimana cara menghindari SMS merugikan itu. SMS yang datang tanpa mendaftar lebih dahulu, bahkan meski sudah beberapa kali di-unreg.

Tiwi sudah beberapa kali mengadu pada provider Indosat yang dipakainya. "Katanya akan dibantu, tetapi sampai sekarang saya masih tetap mendapatkan SMS itu dan pulsa saya terus berkurang," tuturnya.

Kalau mau mengganti nomor ponsel, ia mengaku sayang. Yang dilakukannya kini hanya membiarkan pulsanya berkurang tanpa perlu mengisinya kembali.

Menurut Tiwi, SMS sedot pulsa ini tak hanya menimpanya. Teman-temannya pun memiliki kisah serupa. Seperti kebanyakan korban, awalnya mereka tak ambil pusing dan tidak menyadari pulsanya berkurang.

Bermula dari iseng mendaftar untuk ikut kuis SMS berhadiah gratis pulsa, Asmawati tidak menyangka layanan itu mirip jebakan. Bukannya pulsa yang didapat, malah dikirimi balik SMS berisi gosip-gosip selebriti secara beruntun yang menguras pulsanya. Setiap hari SMS lanjutan masuk lima sampai 10 kali yang dikenakan tarif Rp 1.000 per SMS.

Namun SMS-SMS mengganggu itu hanya datang jika pulsa ponsel terisi. Asmawati pun berkali-kali melakukan unreg ke nomor pengirim SMS, tapi tak pernah berhasil. Bertanya pada operator ponsel pun ia hanya diberi jawaban silakan lakukan unreg.

Masjid Jami' Sungai Jambu, Rumah Allah Terbaik di Sumatra Barat

Sore baru saja menyambut langit Nagari Sungai Jambu. Dari dalam masjid, terdengar alunan ayat-ayat suci Alquran. Bukan orang tua sepuh yang tengah membacanya, tetapi lantunan yang terdengar syahdu itu keluar dari mulut anak-anak.  Mereka sebagian besar masih berstatus sebagai pelajar sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP).


Mereka tampak begitu hidmat mengikuti setiap yang diberikan para pengajarnya. Meski sesekali ada yang terlihat bercanda sesama rekannya, namun anak-anak itu tetap berkonsentrasi. Ketika saatnya harus membaca, anak-anak itu langsung mengikuti teknik  irama membaca Alquran yang sedang diajarkan. Para pengajarnya adalah jebolan qari nasional dari Sumatra Barat.

Aktivitas keislaman itu merupakan rutinitas yang bisa dijumpai setiap Jumat sore di Masjid Jami' Sungai Jambu. Kegiatan tersebut menjadi aktivitas mingguan yang bisa dijumpai selepas shalat Jumat hingga waktu Ashar menjemput.

Masjid Jami' berada di kaki Gunung Merapi, Sumatra Barat. Secara wilayah, masjid ini berada di Jurong Sungai Jambu yang berada di Nagari Sungai Jambu, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.

Dalam tambo Minangkabau, nagari ini termasuk salah satu yang tertua di bumi Minangkabau. Sebagai nagari yang sudah lama berdiri, begitu pula halnya dengan Masjid Jami' ini. Masjid ini awalnya telah dirintis pembangunannya pada 1918. Ketika itu atapnya masih beratap ijuk.

Namun, setelah pembangunan secara permanen yang mulai dilakukan pada 1988, masjid ini terus berbenah diri. Kucuran dana yang datang dari masyarakat perantau dan penduduk lokal ternyata tidak hanya digunakan untuk memperbaiki bangunan fisik masjid saja. Tapi berjalan seiring, masjid ini juga terus membenahi sistem manajemen maupun kegiatan yang ada di dalamnya.

Tak seperti kebanyakan masjid megah di Pulau Jawa, masjid itu cukup mampu memainkan perannya secara maksimal. Hampir semua kegiatan sosial kemasyarakatan juga banyak berpusat dari dalam masjid.

Menurut salah seorang pengurus Masjid Jami', Amlis Luis, maraknya kegiatan yang ada digelar masjid itu telah membawa berkah. Di pengujung September lalu, masjid ini telah dinobatkan sebagai masjid terbaik se-Sumatra Barat oleh Kementerian Agama (Kemenag) provinsi itu. Status sebagai masjid terbaik, tentu tidak datang begitu saja.

Setahun terakhir ini, kata Amlis, pengelola masjid mencoba menggiatkan berbagai macam aktivitas yang semuanya bermuara dari dalam Rumah Allah ini. Kegiatan mengajarkan teknik irama membaca Alquran yang diikuti oleh anak-anak kampung itu hanyalah satu dari sekian banyak kegiatan rutin yang lahir dari dalam Masjid Jami' Sungai Jambu ini.

''Alhamdullilah kegiatan-kegiatan seperti ini sudah mulai aktif sejak November setahun yang lalu. Banyak kegiatan yang kita lakukan dengan tujuan mendidik anak-anak kita agar cinta agamanya,'' kata Amlis  kepada Republika di Jakarta.

Menurut Amlis, di masjid itu juga digelar kegiatan Pondok Alquran. Kegiatan ini lebih banyak melibatkan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi para mubaligh yang siap untuk tampil setiap Jumat. "Sejak 11 bulan yang lalu, sudah ada sekitar enam orang yang sudah siap tampil. Pesertanya adalah mereka yang sudah tingkat SMP hingga SMA," ungkapnya.

Selain itu,  ada lagi kegiatan kursus bahasa Arab dan bahasa Inggris. Lalu, untuk memperdalam kemampuan hafalan anak-anak kampung terhadap Alquran, di masjid itu juga diadakan kajian hafalan ayat-ayat suci. Sejauh ini, kata Amlis, sudah ada beberapa anak yang memiliki kemampuan untuk menghafal surah al-Baqarah hingga 80 ayat.

"Bahkan, untuk mereka yang masih TK, ada juga yang sudah bisa menghafal sampai 20 ayat," katanya.  Selain menyasar pendidikan dan pemahaman anak-anak terhadap agama, Masji Jami' juga berperan di bidang sosial dan kesehatan.  Secara rutin, masjid itu menggelar kegiatan bernama Balai Kesehatan Masjid (BKM).

Kegiatannya berupa pemeriksaan kesehatan jamaah masjid. Aktivitasnya dilakukan setiap Ahad. "Kita melakukan pemeriksaan ini tanpa biaya apa pun. Dokternya kita datangkan dari puskesmas terdekat," tutur Setrial dt Tankali, pengurus Masjid Jami' Sungai Jambu lainnya.

Masjid Jami' juga turut menopang kehidupan ekonomi jamaahnya. Masjid itu menjadi basis ekonomi keumatan. Masjid itu memiliki usaha dalam bentuk koperasi. Sejauh ini anggota yang tercatat baru ada 30 orang. "Tetapi, kami berharap jumlahnya masih bisa terus bertambah," kata Setrial.

Masjid itu juga mampu mengelola dana yang dihimpun dalam bentuk Badan Amil Zakat (BAZ). Dana ini dikumpulkan dalam bentuk zakat mal. Dalam setahun, masjid Jami' Sungai Jambu bisa dua kali  menggelar kegiatan menyantuni anak yatim-piatu. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada saat menyambut tahun ajaran baru sekolah dan saat menghadapi Lebaran.

"Masing-masing kami berikan Rp 300 ribu. Untuk kegiatan yang kemarin, kami menyantuninya kepada 27 anak yatim-piatu yang ada di sekitar masjid," jelas Setrial. Sementara itu, untuk memperkaya khasanah pengetahuan agama, masjid yang memiliki luas bangunan 600 meter persegi ini juga memiliki ruang pustaka.

"Kami menamakannya Pustaka Masjid," kata Amlis. "Saat ini sudah ada ratusan judul buku yang ada di dalam Pustaka Masjid." Untuk kegiatan rutin harian, Masjid Jami' juga melakukan tadarus Alquran. Kegiatan ini dilakukan setelah Maghrib sampai waktu shalat Isya.

 "Saat ini ada sekitar 40 orang yang rutin mengikuti tadarus Alquran ini. Alhamdulillah kegiatannya selalu bisa kami lakukan sehabis shalat Maghrib berjamaah." Lalu untuk menambah pengetahuan dan pemahaman agama bagi jamaah, Amlis mengatakan, pengurus masjid menggelar kegiatan ceramah di malam hari.

Untuk ceramah yang dilakukan setiap Rabu, kata Amlis, pengisinya berasal dari dalam kampung sendiri. Sedangkan untuk setiap Sabtu, kerap kali mendatangkan penceramah dari luar. Kegiatan ini juga berjalan seiring dengan aktivitas Lembaga Didikan Shubuh (LDS) dan kuliah Shubuh.

Program LDS, kata dia, target pesertanya adalah anak-anak. Sedangkan untuk kuliah Shubuh yang dilakukan secara rutin setiap hari, kata Amlis, lebih banyak menyasar para orang tua. "Kami ingin masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah. Tetapi, kami berharap dari masjid bisa dihasilkan banyak hal untuk menjalani hidup," katanya.

Sederet kegiatan yang digelar Masjid Jami' Sungai Jambu ini, kata Amlis, tak lepas peran serta para perantau yang tersebar di berbagai tempat. Ia menceritakan keringanan tangan para masyarakat perantau itu juga ditunjukkan setiap kali Lebaran tiba. "Alhamdullilah saat shalat Id pada Lebaran kemarin, dana yang berhasil kita kumpulkan sebanyak Rp 42 juta."

Kamis, 22 September 2011

Kenangan dari Sa'unine Orkestra

Dalam keheningan sejenak, seorang perempuan berkebaya putih melantunkan suaranya. Vokalnya terdengar jernih dan terasa begitu membuai. Ia melantunkan gendhing Jawa Tak Lelo Ledhung. Di tangannya, ia seperti tengah menggendong seorang bayi. 


Ah, begitu syahdunya ia bernyanyi. Lantunan yang sudah begitu intim itu semakin diperkuat lagi oleh iringan ragam alat gesek. Lembut terdengar harmoni yang dihasilkannya. Para pendengarnya seperti diingatkan kembali kepada sebuah fase di masa bayi sewaktu ditimang orang tuanya. 


Ya, begitulah Sruti Respati mengartikulasikan penampilan pembuka dari pentas Sa'unine String Orchestra di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (15/9) malam. Sruti merupakan solois perempuan yang besar di lingkungan keluarga pemegang tradisi Jawa. Kehadirannya di pementasan kali ini untuk menandai lahirnya album kedua Sa'Unine String Orchestra bertajuk Buaian Sepanjang Masa. 


Usai Sruti melantun, puluhan penonton cukup mahfum untuk memberikannya aplaus. Gemuruh tepuk tangan langsung membahana ke seluruh ruang yang disulap secara mendadak. Ya, ruangan tempat mentasnya Sa'unine Orchestra ini memang jadi alternatif setelah hujan mengguyur Jakarta. Sedianya, aksi para musisi yang berjumlah 45 orang itu dijadwalkan di luar ruangan. Tapi kehendak Ilahi berbicara lain. 


Dalam pementasan ini, 45 musisi itu membawakan berbagai alat musik gesek. Mulai dari violin, viola, cello, contra bass, hingga suling yang ditiup oleh M Saat Sah. Khusus penampilan Saat, apresiasi penonton menjadi lebih riuh. Tiupan serulingnya pada repertoar berjudul Kara begitu kontemplatif, dalam dan terasa menusuk ke pusat indra perasa manusia! Ia mampu merangsang indra pendengar penontonnya untuk merenung perjalanan hidupnya di masa kecil dahulu. Sebuah masa yang boleh jadi sudah sulit untuk kembali dikenang namun akan selalu tetap teringat bahwa setiap manusia pernah ditimang oleh orang tuanya ketika hendak memenjamkan mata. 


Tak cuma Saat saja yang membuat hati para pendengar menjadi begitu romantik. Kejutan juga diberikan oleh Andre Dinuth. Ia bermain solo gitar dengan iringan orkestra alat gesek ketika membawakan nomor instrumen If Only I Could Turn Back Time. Sebelum repertoar itu dilantunkan, Oni Krisnerwinto memberikan sedikit cerita tentang proses kreatif karya tersebut. ''Lagu ini bercerita tentang hubungan ayah dengan anaknya. Intinya di sana ada kerinduan sang ayah untuk bertemu dengan anaknya. Tapi usaha itu harus menghadapi kendala,'' kata Oni yang menjadi komposer karya instrumentalia tersebut. 




Secara keseluruhan, karya yang dibawakan oleh 'rombongan pengamen' asal Yogyakarta ini cukup kuat untuk menjadi alternatif pementasan musik di negeri ini. Bahkan, album kedua ini telah membuka sebuah ruang baru di tengah pragmatisme industri musik yang terjebak pada keseragaman dan minimalnya kreatifitas bermusik. ''Ini menjadi semacam oase bagi industri musik kita,'' kata Jockie Suryoprayogo, mantan keyboardist God Bless, usai pementasan. 


Keistimewaan lain yang tersaji di dalam pementasan dan album ini adalah usaha Sa'Unine Orchestra dalam mendokumentasikan ulang karya-karya lokal nusantara. Tak cuma dari Jawa saja yang dihadirkan, seperti pada nomor Tak Lelo Ledhung. Tapi di sini, Oni juga menyuguhkan kekayaan karya dari Sumatera Barat seperti yang ada pada repertoar Timang Si Bunyung, Upiak. Lalu ada juga lagu menjelang tidur yang terdapat dari Sulawesi Tengah pada judul Oa-Oa atau Pupuh Pucung 'Sucita Subudi' dari Bali. Sedangkan salah satu yang hingga kini masih tetap terkenang adalah senandung Nina Bobo yang dikemas ulang oleh Dimawan Krisnowo Adji. 


Di penghujung penampilan, para penonton seperti tak ingin segera berpisah. Mereka masih meminta rombongan Sa'Unine Orchestra untuk terus 'mengamen'. Alhasil, disajikanlah sebuah lagu daerah dari Kalimantan berjudul Paris Barantai dan Padang Bulan -- lagu rakyat dari Jawa.

Melihat Discus yang Kompromi dalam Atmosfera


Dalam salah satu seloroh, ada yang menyebut grup band Discus itu lebih condong memainkan 'musik kehendak'. Selorohan itu merujuk karena musikalisasi yang dibawakan Discus lebih memilih bermain di luar ranah arus utama industri musik di negeri ini.

Tapi berbekal dengan musik semacam itu, pamor Discus justru lebih mentereng di luar negeri. Grup yang didalamnya memadukan unsur-unsur musik rock, jazz, klasik, metal, dan musik tradisional Indonesia itu ternyata memiliki penggemar di benua Eropa hingga Amerika. Kalaupun manggung, Discus tidak tampil secara terbatas di hadapan pelajar Indonesia yang merantau ataupun para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri.

Ya, Discus telah membuat relung penggemar lintas batas negara. Tapi kini, Discus seperti tengah menghadapi dilema. Iwan Hasan yang menjadi salah satu motor penggeraknya telah mengikrarkan diri untuk hengkang dari Discus. ''Saya sudah memutuskan keluar dari Discus,'' kata Iwan ketika ditemui pada peluncuran proyek terbarunya yang bertajuk Atmosfera.

Ia merasa memiliki beban psikologis jika harus bertahan di Discus. ''Saya mundur karena (Anto) Praboe sudah almarhum meninggal dunia. Jadi saya merasa musik seperti itu sudah berat dan ini buat saya adalah masalah psikologis,'' ujarnya.


Lantas adakah Iwan Hasan menjadi berpatah arang untuk terus berkarya? Oh tentu tidak, jika mengutip tagline sebuah produk makanan, untuk menggambarkan semangat Iwan untuk selalu berkarya. Iwan bersama sahabatnya di Discus, Fadhil Indra, mencoba menerjemahkan misi Discus yang lebih 'membumi'. Jika Discus dahulu banyak berorientasi ke luar negeri, maka proyek bernama Atmosfera ini ditujukannya untuk berkompromi terhadap selera industri.

Di dalam Atmosfera ini, Iwan (keyboard,gitar) bergandengan dengan Terry Manuputty (bass), Earl Pramudji (gitar) dan Fitra (vokal). Sementara Fadhil yang selama ini banyak berperan sebagai keyboardist, di dalam proyek Atmosfera duduk manis menabuh drum. ''Ini sebuah tantangan buat kita semua,'' kata Fadhil mengenai keterlibatannya di dalam Atmosfera. ''Saya sih berharap musik Atmosfera ini bisa diterima di semua kalangan.''

Bens Leo, pengamat musik nasional, bahkan dengan lantang menilai Atmosfera ini sebagai bentuk Discus yang tampil lebih nge-pop. ''Di dalamnya banyak sentuhan yang berupaya untuk dapat berkompromi dengan selera pendengar kebanyakan,'' ujarnya.

Lagu yang dinilai 'komersial', menurut telinga Bens, dapat disimak pada lagu Diam. Lagu yang dipasang pada track pembuka ini mencoba melakukan eksplorasi yang nge-pop. ''Di sana coba dipadukan bunyi piano, gitar elektrik, drum, bass, tapi juga diperkaya dengan musik babu rindik dari Bali dan improvisasi vokal Fitra yang jazzy. Jadi di sini terlihat sebuah kekuatannya,'' kata Bens menilai.

Usaha untuk berkompromi juga dapat disimak dari durasi di setiap lagu yang terselip di album bertajuk Negeri Cinta ini. Jika di Discus kita bisa menemukan durasi sebuah lagu hampir 20 menit, maka di Atmosfera ini semuanya coba dipersingkat.

''Buat saya, mau panjang maupun pendek (sebuah lagu), selalu ada tempatnya masing-masing. Nah untuk di Atmosfera kita merasa lagu-lagu kita sudah cukup ringkas seperti yang diinginkan selera sekarang,'' kata Iwan yang menjadi komposer di dalam proyek ini.

Kolaborasi Maya Hasan Selain melakukan kompromi pasar, Atmosfera ternyata juga melakukan kompromi dalam bentuk kekeluargaan. Kompromi -- lebih tepatnya disebut kerjasama -- ini dapat dilihat dari keterlibatan tiga bersaudara dari keluarga Hasan.

Selain Iwan Hasan, di proyek ini ada juga Syafei Hasan. Ia berperan sebagai eksekutif produser bagi kedua adik kandungnya. Sedangkan Hasan yang satunya lagi adalah Maya Hasan. Maya adalah seorang harpanis ternama yang sudah menyimpan segudang pengalaman. Di album ini, Maya ditampilkan sebagai additional musician pada lagu Negeri Cinta. Lagu ini sekaligus juga menjadi singel utama bagi debut album Atmosfera.

''Saya sangat senang bisa terlibat di sini. Kebetulan saya sudah mengenal para personelnya sejak lama. Ketika mereka menelurkan album Atmosfera, tentunya ini berbeda dengna Discus. Saya menilai album ini tidak sembarangan, namun juga enak didengar,'' Maya memaparkan isi hatinya ketika dilibatkan dalam proyek Atmosfera ini. ''Meski cuma kebagian satu, saya tetap senang kok. Semoga album dan lagu-lagu dari Atmosfera ini bisa diterima dan diapresiasi dengan baik,'' sambung Maya kembali.

Lantas untuk lebih membuat 'bunyi' yang lebih bergaung keras, Atmosfera memang secara khusus menyasar pendengar dalam negeri saja. ''Sebenarnya permintaan album Atmosfera ini sudah ada juga yang datang dari luar. Ada yang dari Brasil, Uruguay, sampai ke Italia. Mereka menanyakan tentang album Atmosfera. Tapi kita menyadari, Atmosfera ini sebaiknya untuk bisa menjaring pasar dalam negeri saja. Kebetulan juga lirik-lirik lagunya kan masih berbahasa Indonesia,'' ujar Iwan.

Rabu, 14 September 2011

Utha Likumahuwa, Bung, Luka Itu Jadi Penanda



Bung Utha, senyampang Bung masih berada di tengah kami, sebelum bumi menerima jasad dan Tuhan menyambut Bung kembali, izinkan kami bicara. Dunia sepertinya sudah tua, Bung. Lihatlah. Seolah kematian makin akrab. Seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa*.


Dua hari lalu, seniman Sunda, Darso. Kemarin Bung dijemput-Nya dari kami semua. Bung, tiga bulan lalu kami semua terenyak membaca berita. Dalam sebuah perjalanan mulia, silaturahim mengunjungi saudara ke Pekanbaru, Bung terkapar dihajar stroke. Juni lalu itu pun membuka fakta yang sebelumnya mungkin tak pernah Bung duga.

Aktivitas dan tanggung jawab yang padat serta kerinduan untuk selalu memberi sesuatu pada dunia seni negeri ini membuat Bung mengesampingkan kenyataan betapa ringkihnya kita sebagai manusia. Saat pemeriksaan itu, terkuak bahwa Bung pun mengidap diabetes dan gangguan jantung. Belum lagi sebab yang membuat Bung terkapar itu: penyumbatan pembuluh darah.

Setelah itu, Bung diminta-Nya bersabar dengan kelumpuhan di sisi kanan tubuh. Dan, kami melihat Bung begitu sabarnya. Mungkin terilhami lagu yang sering Bung nyanyikan, "Tuhan pun tahu hidup ini sangat berat. Tapi, takdir pun tak mungkin selalu sama."

Di mata kami, Bung terlihat begitu rela. Tetapi memang, bagaimana tidak. Di usia 56, puncak kiprah seorang manusia, Bung telah menorehkan banyak catatan bersejarah. Bermula pada 1981, saat menyanyikan "Tembang Pribumi" karya Christ Kayhatu dalam Lomba Cipta Lagu Remaja, nama Bung mulai dilirik publik musik. Setelah itu, yang ada hanya prestasi.

Bung meraih gelar Penampilan Terbaik Kedua pada ASEAN Pop Song Festival 1989 di Manila. "Sesaat Kau Hadir" yang Bung bawakan juga menjadi lagu terbaik di festival itu. Bung jugalah Sang Juara II Asia Pacific Singing Contest di Hong Kong (1989), Juara Kedua Asia Pacific Broadcasting Union/ ABU Golden Kite World Song Festival di Kuala Lumpur (1990), saat berduet dengan Trie Utami.

Andil Bung dalam dunia musik Indonesia pun tak ternafikan dengan belasan album yang Bung terbitkan. Bung, kami bisa belajar dari optimismemu. Dalam keharusan operasi tempurung kepala, kami dengar kau tak kehilangan gembira. Kita tahu, operasi itu yang membuatmu beralasan meninggalkan kami kemarin, Rabu (13/9).

Biarlah luka itu justru akan jadi penanda pertemuan kita nanti. Tak hanya raut muka. Bahkan kelihatan bekas luka, dekat kening. Kami tahu, Bung tak memaksakan diri. Untuk pergi meninggalkan** kami.

*Dari "Dan Kematian Makin Akrab", puisi Subagio Sastrowardoyo. ** "Maaf", lagu Utha Likumahuwa

Utha Likumahuwa, Bung, Luka Itu Jadi Penanda




Bung Utha, senyampang Bung masih berada di tengah kami, sebelum bumi menerima jasad dan Tuhan menyambut Bung kembali, izinkan kami bicara. Dunia sepertinya sudah tua, Bung. Lihatlah. Seolah kematian makin akrab. Seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa*.

Dua hari lalu, seniman Sunda, Darso. Kemarin Bung dijemput-Nya dari kami semua. Bung, tiga bulan lalu kami semua terenyak membaca berita. Dalam sebuah perjalanan mulia, silaturahim mengunjungi saudara ke Pekanbaru, Bung terkapar dihajar stroke. Juni lalu itu pun membuka fakta yang sebelumnya mungkin tak pernah Bung duga.

Aktivitas dan tanggung jawab yang padat serta kerinduan untuk selalu memberi sesuatu pada dunia seni negeri ini membuat Bung mengesampingkan kenyataan betapa ringkihnya kita sebagai manusia. Saat pemeriksaan itu, terkuak bahwa Bung pun mengidap diabetes dan gangguan jantung. Belum lagi sebab yang membuat Bung terkapar itu: penyumbatan pembuluh darah.

Setelah itu, Bung diminta-Nya bersabar dengan kelumpuhan di sisi kanan tubuh. Dan, kami melihat Bung begitu sabarnya. Mungkin terilhami lagu yang sering Bung nyanyikan, "Tuhan pun tahu hidup ini sangat berat. Tapi, takdir pun tak mungkin selalu sama."

Di mata kami, Bung terlihat begitu rela. Tetapi memang, bagaimana tidak. Di usia 56, puncak kiprah seorang manusia, Bung telah menorehkan banyak catatan bersejarah. Bermula pada 1981, saat menyanyikan "Tembang Pribumi" karya Christ Kayhatu dalam Lomba Cipta Lagu Remaja, nama Bung mulai dilirik publik musik. Setelah itu, yang ada hanya prestasi.

Bung meraih gelar Penampilan Terbaik Kedua pada ASEAN Pop Song Festival 1989 di Manila. "Sesaat Kau Hadir" yang Bung bawakan juga menjadi lagu terbaik di festival itu. Bung jugalah Sang Juara II Asia Pacific Singing Contest di Hong Kong (1989), Juara Kedua Asia Pacific Broadcasting Union/ ABU Golden Kite World Song Festival di Kuala Lumpur (1990), saat berduet dengan Trie Utami.

Andil Bung dalam dunia musik Indonesia pun tak ternafikan dengan belasan album yang Bung terbitkan. Bung, kami bisa belajar dari optimismemu. Dalam keharusan operasi tempurung kepala, kami dengar kau tak kehilangan gembira. Kita tahu, operasi itu yang membuatmu beralasan meninggalkan kami kemarin, Rabu (13/9).

Biarlah luka itu justru akan jadi penanda pertemuan kita nanti. Tak hanya raut muka. Bahkan kelihatan bekas luka, dekat kening. Kami tahu, Bung tak memaksakan diri. Untuk pergi meninggalkan** kami.

*Dari "Dan Kematian Makin Akrab", puisi Subagio Sastrowardoyo. ** "Maaf", lagu Utha Likumahuwa

Kamis, 04 Agustus 2011

Beradu Kuat Merebut Film Hollywood

Film Hollywood jika digambarkan layaknya gula yang selalu menjadi incaran para semut. Gara-gara daya pikat film-film blockbuster dari negeri Paman Sam itu, kini perseteruan para pebisnis perbioskopan Tanah Air telah terpantik untuk saling merebut untung.
Perseteruan para pengusaha itu ternyata juga membawa pemerintah ke pusaran konflik. Presiden Komisaris Blitz Megaplex, AM Hendropriyono, menuding, pemerintah -- dalam hal ini Kementerian Budaya dan Pariwisata -- telah berperan dalam melanggengkan praktek monopoli.

Jika sebelum diboikotnya pemutaran film Hollywood di Tanah Air, klaim monopoli mengarah pada 21 dan XXI. Pengakuan ini sempat diakui oleh Menbudpar Jero Wacik pada jumpa pers yang dilakukannya pekan lalu di Gedung Sapta Pesona, Jakarta.

''Dulu memang (dikuasai) 100 persen. Tetapi sekarang 21 dan XXI hanya (menguasai) 80 persen saja (distribusi film impor),'' kata Jero Wacik.

Tapi setelah keran film Hollywood kembali dibuka -- hal ini ditandai dengan diputarnya film Transformers: Dark of the Moon dan Harry Potter and the Deathly Hallows Parts-2 -- masalah monopoli tetap saja menjadi kata yang tak pernah hilang dalam setiap perbincangan.

Tudingan monopoli itu muncul karena PT Omega -- perusahaan yang telah mendapat kepercayaan sebagai mitra major studio Hollywood -- dinilai masih satu baju dengan 'pemain lama' yang pernah melakukan praktek monopoli.

Raam Punjabi, produser dari Multivision Plus, mengatakan PT Omega dan 21 itu masih sama. Ia mengungkapkan, dirinya sudah pernah melakukan negosiasi dengan pihak MPAA (Motion Pictures Association of America).

''Dari pertemuan itu MPAA hanya mau memberikan film-filmnya kepada agennya yang memiliki gedung bioskop yang banyak saja. Nah itu artinya Omega dan 21 itu sudah ada satu bukti,'' ujarnya.

Namun tudingan Raam itu ditampik oleh Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Syafruddin. Ia menyangkal jika praktek monopoli masih dilakukan oleh pemain lama.

Meski demikian Djonny mengakui untuk kepemilikan bioskop saat ini masih didominasi oleh pihak 21. Dari sekitar 676 layar yang tersebar di 210 bioskop, pihak 21 menguasai hampir 80 persen. Lalu Blitz memiliki sekitar 37 layar. ''Tapi Blitz bukan anggota kami,'' cetus Djonny.

Sedangkan dari pihak Blitz memberikan data yang berbeda kepada Republika. Dari tujuh lokasi, jumlah layar keseluruhan sebanyak 66 layar.

Nah mengapa persoalan dugaan monopoli ini bisa menjadi buah bibir yang begitu sengit dibahas? Ilham Bintang dalam sebuah percakapan kepada Republika pernah membeberkan gepokan rupiah yang berhasil diraup dari pengusaha bioskop ketika memutar film Hollywood.

Ilham mengungkapkan sepanjang tahun lalu pemasukan hasil penjualan tiket penonton bioskop nasional yang diterima dari penayangan film asing di Indonesia nilainya mencapai Rp780 miliar. Jumlah tersebut berasal dari 65 judul film.

''Tapi dari jumlah tersebut, pemerintah ternyata hanya mendapatkan penerimaan dalam bentuk pajak bea masuk sekitar Rp5 miliar saja,'' ujarnya.

Data itu juga kian diperkuat lagi ketika film-film Hollywood tidak ada diputar di bioskop nasional sekitar lima bulan terakhir. Pada periode tersebut, Djonny mengakui, telah terjadi penurunan pemasukan. Ia mengambil sampel di Jakarta. Penurunannya, kata dia, mencapai 60 persen.

Angka itu menyitir dari data Dinas Pendapatan Daerah Jakarta. Pada Januari pendapatan bersih pajak hiburan khusus dari bioskop di Jakarta mencapai Rp3,9 miliar. Angka itu didapat sebelum film Hollywood absen di bioskop nasional.

''Sedangkan pada Juni, angka yang didapat hanya ada sekitar Rp 1,8 miliar saja. Itu artinya film asing memang masih lebih menguntungkan dibanding film lokal bagi para pengusaha bioskop,'' ujar Djonny dalam perbincangannya melalui saluran telpon kepada Republika.

Minggu, 24 Juli 2011

God Bless Membius Penonton Java Rockin'Land 2011



Grup band legendaris Indonesia, God Bless, berhasil membius ribuan penonton Java Rockin'Land di Pantai Karnaval, Ancol, Sabtu (23/7) malam. Dalam aksi panggungnya tersebut, God Bless untuk kali pertama sejak 28 tahun melantunkan kembali lagu Cermin ke hadapan para penggemarnya.

''Lagu ini terakhir kali kita bawakan pada 1983. Ini spesial buat Anda semua yang ada di sini,'' kata Ahmad Albar, vokalis God Bless, saat tampil di atas Gudang Garam Intermusic Stage.

Saat manggung, God Bless hadir dengan membawa formasi Ahmad Albar sebagai vokalis. Lalu ada Ian Antono (gitar), Donny Fattah Gagola (bass), Yaya Moektio (drums) serta Abadi Soesman (keyboard).

Sementara itu untuk lagu Cermin, lagu tersebut menjadi salah satu singel yang terselip di album kedua God Bless dengan judul yang sama seperti singelnya. Album tersebut disebut-sebut sebagai album yang kaya estetika secara musikalitas, namun kurang mendapat respons besar secara penjualan.

Dalam sebuah artikel di laman wikipedia diklaim bahwa album Cermin ini hadir sebagai karya yang melawan arus industri musik saat itu. Benang merah musik yang mereka usung ketika itu adalah rock progresif.

Sebagai momentum pertama, God Bless juga mengemas lagu Cermin ini secara eksploratif. Mereka juga tampil dengan sokongan choir yang berjumlah 16 pieces. Meski masih terlihat gahar secara musikalitas, namun usia para personelnya yang telah melampaui separuh abad tetap menjadi salah satu kendala untuk menghibur di atas panggung.

Selain Cermin, God Bless juga menghadirkan salah satu karya dari proyek Gong 2000 berjudul Bara Timur. Saat membawakan lagu ini, God Bless memboyong seniman asal Bali, I Gusti Kompyang Raka. Kolaborasi ini diperkaya juga dengan aksi tari barong Bali. Secara penampilan, kolaborasi etnik ini kian mempertegas bahwa God Bless masih tetap mengakar karya-karyanya pada kearifan budaya lokal.

Selain kedua karya masterpieces tersebut, God Bless juga menghadirkan lagu-lagu terbaiknya seperti Semut Hitam, Panggung Sandiwara, Syair Kehidupan, hingga "N.A.T.O. (No Action Talk Only)". Lagu terakhir ini merupakan salah satu repertoar yang ada di album terbaru God Bless, 36th, yang dirilis tiga tahun silam.

Magnet Reunifikasi Cranberries



Suara koor massal dari ribuan penonton melantun bersama di tengah semilir angin malam yang terasa mengigit tulang. ...In your head, in your head, zombie, zombie, zombie...

Lantunan massal itu melafalkan sepenggal refrain dari lagu Zombie milik grup band The Cranberries. Ya, grup rock asal Irlandia yang dimotori oleh Dolores O'Riordan (vokal), Noel Hogan (gitar), Mike Hogan (bass), dan Fergal Lawler (drum) itu telah membuhulkan sihirnya ke hadapan ribuan penggemarnya yang memadati Pantai Carnaval Ancol, Jakarta, Sabtu (23/7) malam hingga Ahad (24/7) dinihari WIB.

Malam itu, Cranberries menjadi magnet yang dinanti dari perhelatan Java Rockin'Land 2011. Penampilan Dolores dkk itu menjadi istimewa. Konsernya di Jakarta kali ini menjadi buah dari ikhtiar hasil islah mereka setelah terpisah enam tahun lamanya. Dalam 'bahasa kerennya', konser Cranberries di Jakarta malam itu menjadi rangkaian tur reunifikasi Cranberries.

Zombie hanyalah satu dari sekitar 19 lagu yang dilantunkan oleh personel Cranberries di atas Gudang Garam Intermusic Stage -- salah satu panggung utama pada gelaran Java Rockin'Land 2011. Sambutan yang begitu bergemuruh dari para penonton terhadap lagu Zombie ini bisa dimahfumi. Lagu yang terselip dari album kedua Cranberries, “No Need to Argue” (1994), ini adalah salah satu singel yang telah melambungkan nama mereka ke peta industri musik dunia. Mereka dikenal melampaui batas negaranya sebagai pengusung aliran alternatif rock.

Meski liriknya berisi refleksi terhadap perang yang melanda Irlandia pada abad ke-20, namun para pemujanya tak pernah galau untuk melantunkan Zombie. Zombie di sini dapat diartikan sebagai hujatan terhadap para pelaku dari peristiwa bersejarah di negara mereka, The Troubles. The Troubles ini merupakan periode konflik etno-politik yang terjadi di Irlandia Utara sejak 1969 dan baru berakhir setelah 29 tahun kemudian.

Saat melantunkan Zombie, Dolores juga mempertontonkan kepiawaiannya memainkan instrumen gitar. Ia tak alpa pula untuk berjingkrakan dan mengitari panggung. Meski usia telah menggerusnya, namun vokalis kelahiran 6 September 1971 itu tetap terlihat powerfull untuk menghibur para pemujanya.

Untuk konsernya kali ini, ada sedikit hal yang berbeda dari aksi panggung Cranberries, khususnya Dolores. Di era 1990-an -- ketika lagu Zombie itu tengah booming -- perempuan bernama lengkap Dolores Mary Eileen O'Riordan ini lebih percaya diri dengan penampilan rambut cepak dan warna rambutnya yang dicat kekuningan.

Tapi dalam konser reunifikasinya kali ini, rambut Dolores sudah terlihat berbeda. Rambutnya terlihat sedikit memanjang sampai batas leher dengan warna hitam. Sedangkan ciri khas lainnya, seperti sepatu boot, masih tetap ia kenakan ketika tampil di atas panggung.

Menyaksikan Cranberries rasanya wajar jika perhatian lebih banyak tertuju pada sosok Dolores. Selain satu-satunya perempuan, karakter vokal Dolores juga menjadi ciri khas yang unik dari Cranberries. Sedangkan saat melantunkan singel Salvation, ia juga menyita perhatian ketika mengenakan topi ala suku Indian. Ia berlari ke setiap sudut panggung sambil mengajak para pemujanya untuk terus melantun bersamanya.

Selain membawakan Zombie, Cranberries juga menyuguhkan semua lagu hits mereka yang termaktub di lima album terdahulunya. Ada Linger yang menjadi singel hits dari debut album mereka, “Everybody Else Is Doing It, So Why Can't We?”.

Lalu, ada juga Ode to My Family, I Can't Be With You, Ridiculous Thoughts, dan Dreaming My Dreams yang mengisi album kedua. Selanjutnya lagi ada Salvation, Free to Decide, Analyse, Animal Instinct, Promises serta sebuah lagu berjudul Tomorrow yang menyisip di album terbaru Cranberries, Roses.


Selasa, 21 Juni 2011

EVOLUSI GAMBANG KROMONG (2), Eksperimen Teng Tjoe, Kemarahan Generasi Tua



Sejak awal perkembangannya, orkes gambang bukan sekadar musik pengiring para penyanyi, atau dipergelarkan layak orkes simfoni, tapi sering dimainkan sebagai musik latar pertunjukan teater dan pengiring tarian (ngibing).

Teater pertama bukan lenong Betawi seperti kita kenal saat ini, tapi sandiwara Cina. Pemainnya adalah pria dan wanita belum dewasa, atau di bawah umur. Tidak ada catatan ba gaimana teater itu dimainkan. Phoa Kian Soe hanya mengatakan, teater dimainkan dalam bahasa Tionghoa.

Cerita yang ditampilkan kebanyakan dari daratan Cina. Salah satunya, dan merupakan cerita silat, adalah Sie Djin Kwi Tjeng Tang. Kian Soe juga tidak menyebut cerita-cerita lainnya, karena pada 1940-an tidak ada lagi yang mewarisi. Lenong Tionghoa, sebut saja begitu, relatif telah hilang dari panggung pertunjukan masya rakatnya, karena hampir tidak ada upaya menelusuri dan menemukannya kembali. Terlebih, masyarakat peranakan Tionghoa yang lahir di pertengahan abad ke-19 relatif mulai meninggalkan bahasa leluhurnya.

Lenong Betawi baru muncul di penghujung abad ke-19, dan berkembang di awal abad ke-20. Almarhum Firman Muntaco mengatakan, lenong Betawi bukan adaptasi dari Cina, tapi teater stambul.

Menjadi Gambang Kromong
Sejarawan Betawi mengenal Oey Tamba Sia sebagai playboy yang mati di tiang gantungan dan relatif mengabaikan peran sang letnan dalam bis nis suhian di Batavia. Suhian adalah rumah plesir atau tempat hibur an–ti dak beda dengan coffee house atau diskotek saat ini.

Namun, kata suhian hanya digunakan untuk rumah plesir biasa, bu kan milik para orang kaya. Rumah ple sir milik letnan, mayor, atau kapi ten, disebut empang atau kebon. Ti dak ada keterangan mengapa kedua kata digunakan untuk rumah plesiran.

Yang pasti, Bintang Mas–rumah plesir yang didirikan Oey Tamba Sia di Ancol– dikelilingi empang. Mayor Tan Eng Goan, pesaing serius Tamba Sia, membuat rumah plesir di Kebon Baru, yang diberi nama Kebon Mayor.

Di penghujung abad ke-19, sejumlah suhian berdiri di Pasar Baroe, Tanah Abang, dan Pasar Senen. Tan Wang Wee, salah satu pebisnis suhian pascaera Oey Tamba Sia, mengelola rumah plesiran di Senen.

Setiap suhian memiliki kelompok pemain orkes gambang dan beberapa penyanyi serta gadis-gadis yang siap diajak ngibing. Bagi pemain gambang, menjamurnya suhian adalah lahan pekerjaan paling menarik.

Akibatnya, muncul kelompok-kelompok orkes gambang, tidak hanya dari kalangan Tiong hoa tapi juga pribumi. Persaingan antarkelompok orkes gambang tak terhindarkan. Per saing an inilah yang memicu revolusi musim orkes gambang.

Revolusi paling berani dilakukan Teng Tjoe, seorang kepala permukiman (wijkmeester)– sering pula disebut bek– Tionghoa, pada 1880. Ia memasukkan unsur kemong, kempul, gendang, dan gong, ke dalam orkes gambang, dan dimainkan di suhian milik Tan Wang Wee.

Orkes gambang tidak lagi mendayudayu, tapi dinamis. Pukulan gen dang khas Sunda memprovokasi pengunjung suhian untuk turun me nari, wanita penghibur dan tjio kek meng ikat kan cukin (selendang–Red) seba gai tanda mengajak pengunjung untuk menari.

Sejak saat itu masyarakat tidak lagi menyebutnya orkes gambang, tapi gambang kromong. Kelompok Teng Tjoe tak pernah sepi panggilan dari satu ke lain suhian. Puncak popularitasnya terjadi ketika kelompok Teng Tjoe tampil pada perayaan Imlek dan Cap Go Meh.

Sukses eksperimen Teng Tjoe di Pasar
Senen memprovokasi Nam Ho, seorang
bek di Tanah Tinggi, mela kukan hal
serupa. Ia memasukkan unsur baru,
yaitu menabuh mangkok Cina yang diisi
air. Eksperimen ini juga menarik perha -
tian, tapi sulit dimainkan di tempat
terbuka.

Di Kwitang, Tjoe Kong Koen melakukan eksperimen lain. Ia memadukan gambang kromong dengan piano dan menyebutnya gambang piano. Eksperimen ini sempat mena rik perhatian penikmat musik saat itu, tapi tidak lama.

Booming suhian dan keberanian pelaku permainan orkes gambang melakukan eksperimen, tak luput dari perhatian masyarakat Tionghoa kelas atas di Batavia. Mereka menyebut gambang kromong sebagai orkes gambang liar. Para panjak, atau pemain gambang kromong, dituding telah merusak kaidah asli orkes gambang.

Akibatnya, menjadi panjak bukan lagi profesi terhormat. Bahkan, menurut Kian Soe, nyonya terhormat menyebut panjak sebagai setan su hian. Di sisi lain, suhian bukan lagi sekadar rumah plesir para orang ka ya untuk mendengar penyanyi ‘piaraan’-nya beraksi, tapi berubah menjadi tempat prostitusi.

Perempuan pribumi dari desa-desa di pinggir Batavia, tanpa kemampuan menyanyi, datang mengisi suhian dan menjadi teman ngibing dan menjual tubuh. Pelanggannya bukan lagi babababa, atau orang-orang kaya, tapi anakanak muda kelas menengah Tionghoa.

Kalangan kelas menengah atas masyarakat Tionghoa merespons situasi ini dengan melarang anak-anak mereka bermain musik. Mereka menyebut pemain gambang kromong bermoral rendah, dan tidak tahu malu. Masih banyak lagi kata-kata tak sedap disematkan kepada pemain gambang kromong saat itu.

Reaksi itu tidak menghentikan perkembangan gambang kromong sebagai musik populer. Gambang kromong perlahan tapi pasti mengubur eksistensi orkes gambang dengan suara tjiokek-nya yang mendayu-dayu, dan meminggirkan pemainnya.

Kalangan generasi tua Tionghoa tidak diam. Kian Soe mencatat tahun 1913, sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa di Batavia; Boe Gie Hong, Tan Tjoen Hong alias Endong, Lim Tjio San alias Serang, Tan Jan Tji, dan masih banyak lagi, menemui Khoe Siauw Engsekretaris Majelis Kongkoan Batavia.

Mereka menyampaikan kegundahan akan terpinggirkannya orkes gambang, akibat serbuan gambang kromong. Lagu-lagu orkes gambang tidak lagi dimainkan dengan kaidah yang benar dan sesuai partitur, tapi dirusak sedemikian rupa.

Khoe Siauw Eng, yang memahami orkes gambang dengan baik, merespons positif pengaduan mereka. Ia menyediakan diri untuk diangkat sebagai pemimpin kelompok orkes gambang Ngo Hong Lauw, mendirikan klub, dan mengampanyekan pentingnya melestarikan orkes gambang.

Upaya Siauw Eng tak sia-sia. Siauw Eng memanfaatkan popularitasnya sebagai sekretaris Majelis Kongkoan untuk menghimpun anggota klub, dan berhasil. Ketika anggota klub sedemikian banyak, Siauw Eng memindahkan tempat permainan orkes gambang ke gedung yang lebih besar.

Setiap pekan, atau pada hari-hari tertentu, Siauw Eng dan para penggede Tionghoa di Batavia berkumpul untuk menikmati orkes gambang, dengan la gu-lagu yang dimainkan sesuai kaidah aslinya. Namun, hanya itu yang bisa dilakukan Siauw Eng. Ia tidak bisa melebarkan sayapnya, dengan membentuk perkumpulan lain di beberapa tempat.

Entah sampai berapa lama orkes gambang kembali populer sebagai mu sik kelas menengah ke atas. Di sisi lain, gambang kromong kian mapan se bagai musik kelas menengah ke ba wah. Tidak lagi melulu dimainkan masyarakat Tionghoa, tapi juga pribumi.

Ngo Hong Lauw melewati dua masa krisis; kematian Siauw Eng dan pendudukan Jepang. Mereka bisa melewatinya berkat bantuan keuangan Tan Liauw Lioe dan Nio Djit Seng. Selepas tahun 1960, orkes gambang warisan Tionghoa Batavia benar-benar telah punah akibat tidak adanya regenerasi.

Sedangkan gambang kromong kian mapan dan mapan, dan pada 1970-an mencapai puncak keemasannya dengan munculnya Benjamin S, Ida Royani, Lilis Suryani, dan lainnya. Sebagai musik rakyat, gambang kromong menunggu inovasi baru dan eksperimen kreatif pelakunya.

(dikutip dari naskah Teguh Setiawan di Rubrik Teraju-Republika)

EVOLUSI GAMBANG KROMONG (1) Tidak Ada Yang Khim, Gambang Pun Jadi



Maksum (52), penyanyi gambang kromong asal Bekasi, menghabiskan setengah usianya untuk kelestarian kesenian yang diklaim milik masyarakat Betawi. Ia hafal hampir seluruh lagu gambang kromong modern, terutama lagu-lagu Benyamin S, Ida Royani, dan Lilis Suryani, tapi tak mengenal seluruh lagu yang jauh lebih tua.

“Waduh, kalo untuk lagu-lagu klasik mungkin yang bisa hanya Masnah Pang Tjin Nio,” katanya kepada Republika saat ditemui pada perayaan Pecun di Tangerang, beberapa waktu lalu.

Kosim Balada (54), pemilik gambang kromong Lenong Mini (Bang Lemin), menga ku masih mengenal beberapa repertoar klasik dan lagu lama kesenian ini. Ia tahu “Pobin Kong Ji Lok”, “Pobin Po Pan Tau”, tapi tidak tahu belasan lainnya.

Yang ia tahu, pobin—repertoar yang dimainkan pada masa awal orkes gambang, sebutan lain untuk gambang kromong—adalah musik sakral masyarakat Tionghoa. Ia coba melestarikan beberapa dengan memasukkannya ke elekton.

“Untuk lagu-lagu klasik yang saya hafal adalah ‘Kramat Karem’, ‘Gula Ganting’, ‘Mas Nona’, dan lainnya,” ujar Kosim.

Maksum dan Kosim adalah generasi terakhir gambang kromong. Maksum relatif bisa memainkan satu atau dua alat musik tradisional peranakan Tionghoa Be tawi itu. Sementara Kosim hanya penyanyi dan tidak berupaya belajar memainkan alat musik.

Keduanya, seperti kebanyakan pemain gambang kromong di sekujur Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, tidak banyak mewariskan lagu-lagu dan repertoar klasik. Bahkan, Smithsonian Folkways hanya bisa merekam dua pobin: “Kong Ji Lok” dan “Po Pan Tau”, dan memopulerkannya di Youtube.

Wikipedia sedikit lebih maju dengan mencatat sejumlah pobin: seperti “Kong Ji Liok”, “Sip Pat Mo”, “Poa Si Li Tan”, “Peh Pan Tau”, “Cit No Sha”, “Ma Cun Tay”, “Cu Te Pan”, “Cay Cu Teng”, dan “Cay Cu Siu”. Sedangkan lagu klasik (dalem) yang tercatat relatif baru. Sebut sa ja: “Centeh Manis Berdiri”, “Mas No na”, “Gula Ganting”, “Semar Gu nem”, “Gula Ganting”, “Tanjung Bu rung”, “Kula Nun Salah”, dan “Mawar Tumpah”.

Sedangkan lagu-lagu pop (sayur), yang relatif telah menjadi klasik adalah “Jalija li”, “Stambul”, “Centeh Manis”, “Surilang”, “Persi”, “Balo-balo”, “Akang Haji”, “Renggong Buyut”, “Jepret Payung”, “Kramat Karem”, “Onde-onde”, “Gelatik Ngunguk”, “Lenggang Kangkung”, dan “Sirih Kuning”.

Tidak ada keterangan tahun penciptaan lagu-lagu di atas. Seolah lagu-lagu itu, pobin maupun lagu klasik, telah ada begitu saja dan telah sedemikian lama.

Evolusi
Gambang kromong yang kita kenal saat ini telah mengalami evolusi selama lebih 200 tahun. Sebagai seni musim pertunjukan, gambang kromong serangkaian dimodifikasi. Ketika keluar dari lingkung an elite masyarakat Tionghoa Batavia, gambang kromong menjadi permisif terhadap inovasi baru.

Ketika gambang kromong kali pertama dimainkan masyarakat Tionghoa Batavia pada 1743, etnis Betawi belum ada. Menggunakan studi Lance Castle, antropolog Dr Yasmine Zaki Shahab MA memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk antara 1815-1893.

Sensus Pemerintah Hindia-Belanda tahun 1893 menunjukkan lenyapnya sejumlah suku bangsa yang pernah mendiami kawasan pinggiran Kota Batavia: Moor, Jawa, Sunda, Sumbawa, Ambon, Banda, dan Melayu. Sebagai gantinya, sejumlah penduduk menyebut diri sebagai Betawi. Pada sensus 1930, Pemerintah Hindia-Belanda memunculkan kategori baru dalam lembar sensus, yaitu orang Betawi.

Catatan terakhir mengenai evolusi gambang kromong terdapat dalam majalah Pantjawarna—majalah pengganti mingguan Sin Po, yang tidak terbit sejak kedatangan Jepang—edisi 9 Juni 1949. Catatan itu berupa artikel hasil wawancara dengan Phoa Kian Soe, penulis naskah film dokumenter: “Anak Naga Beranak Naga, Gambang Kromong: Akulturasi Budaya Tionghoa Betawi”.

Dalam artikel itu, Kian Soe bertutur bagaimana dia harus mengitari Tangerang, Bekasi, dan sekujur Jakarta untuk menghimpun data soal gambang kromong dan repertoar klasiknya serta mencari tahu sejarah perkembangan kesenian itu dari masa ke masa. Ia mewawancarai pemain gambang kromong yang telah lanjut usia, tapi masih memiliki ingatan kuat.

“… saja telah bisa dapetken noot dari lagoe-lagoe, jang kebanyakan dari pemaen-pemaen orkest gambang djeman sekarang tida mengarti, terketjoeali marika jang paham hoeroef Tionghoa,” tulis Kian Soe.

Menurut Kian Soe, tidak ada yang tahu kapan orkes gambang—demikian kesenian ini kali pertama disebut—dimainkan. Cerita yang dituturkan orang-orang tua menyebutkan kesenian ini kali pertama diperkenalkan saat menyambut kembalinya Kapiten Nie Hoe Kong.

Nie Hoe Kong adalah tokoh pemberontakan di dalam Kota Batavia tahun 1740, yang menyebabkan pembantaian lebih 10 ribu Tionghoa. Ia dibuang ke Makassar oleh Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Pada 1743, Gubernur Jenderan Baron van Imhoff membebaskannya.

Lim Beng, panitia penyambutan, mengumpulkan lima perangkat orkes gambang. Setiap perangkat terdiri atas soekong, hosiang, thehian gihian, kongngahian, sambian, soeling, pan (ketjrek), dan ningnong. Saat itu, instrumen gambang belum masuk karena masya rakat Tionghoa masih mencari Yang Khim—alat musik khas tradisional Cina yang biasa dikombinasikan dengan soekong, hosiang, thehian, dan gihian. Mereka yakin kelak akan ada pendatang baru dari daratan Cina yang membawa Yang Khim.

Harapan tinggal harapan, alat musim itu tak pernah singgah di Batavia. Di luar tembok kota, gambang telah dimainkan sebagian masyarakat Tionghoa, tapi dengan cara berbeda. Menurut Kian Soe, di tangan orang Tionghoa dan pribumi sekitar, suara menjadi tidak halus, dan dimainkan di luar kaidah musik tradisional Jawa.

Tidak diketahui kapan gambang mulai menjadi bagian permainan musik Tionghoa di kota Batavia. Yang pasti, alat musik ini mulai coba dikombinasikan dengan soekong, thehian, kongahian, pan, sambian, dan gehian, setelah masyakat Tionghoa lelah menunggu Yang Khim.

“Pemaen-pemaen “Orkest Gambang” haroes ada orang-orang jang mengenal hoeroef Tionghoa, kerna goe na maenken lagoe-lagoe Pobin, marika moesti menoeroet betoel pada noot,” tulis Kian Soe.

Keharusan mengenal huruf Cina membuat gambang kromong pada awal perkembangannya tidak mungkin dimainkan masyarakat pribumi. Perge laran orkes gambang tidak ubahnya konser musik klasik di gedung-gedung kesenian di Barat karena di hadapan setiap pemain alat musik terdapat partitur.

Akibatnya, orkes gambang hanya dimainkan di rumah-rumah orang kaya; kaptoa (kapiten), kapja (letnan), dan siasia —atau anak-anak para kapten dan letnan. Orkes gambang kerap hadir di rumah-rumah mereka saat ulang tahun, perkawinan, atau pesta-pesta tertentu.

Kian Soe mencatat pada beberapa dekade awal, orkes gambang memainkan pobin dengan partitur. Pobin terdiri atas beberapa. “Matodjin”, “Si Djin Kwi Hwee Ke”, “Lui Kong”, “Tjoe Te Pan”, “Tjhia Pe Pan”, “It Ki Kim”, “Tay Peng Wan”, “Pek Bouw Tan”, “Tjay Tjoe Sioe”, dimainkan sebagai persembahan untuk yang berulang tahun (shejit).

Kim Hoa Tjoen, Lioe Tiauw Kim, Sie Say Hwee Ke, Ban Kim Hoa, Pat Sian Kwe Hay, Po Pan Tauw, Lian Hoa The, Tjay Tjoe Teng, Say Ho Liu, Hong Tian, Tjoan Na, Kie Seng Tjo, Tjiang Koen Leng, Tio Kong In, Sam Pauw Hoa, Pek Houw Tian, Kim Soen Siang, Phay In, dimainkan sebagai persembahan kepada para pembesar. Sedangkan Kong Ji Lok biasanya merupakan pembuka sebelum penyanyi (tjokek atau zangeres) membawakan lagu tertentu.

Di luar pobin, terdapat sejumlah lagu berbahasa Tionghoa dan Melayu. Lagu Tionghoa yang populer adalah Tauw Tiat, Dji Tiat, Sam Tiat, Tauw To, Dji Toh, Sam To, Si To, Gouw To, Lak To, Tjit To, dan Pe To. Sedangkan lagu berbahasa Melayu yang populer adalah Dempok, Temenggoeng, Menoelis, Engkosi Baba, Indoeng-indoeng, Mas Nona, Djoeng djang Semarang, Bong Tjeng Kawin, Koelannoen Salah, Bangliau, Goenoeng Pajoeng, Petjahpiring, dan Tandjoeng Boeroeng.

Semua lagu-lagu cenderung mendayudayu dan tidak bisa dijadikan pengiring dansa atau ngibing. Pun, tidak banyak yang piawai menyanyikan lagu itu karena membutuhkan kemampuan olah vokal prima. Jadi, hanya para cokek atau zangeres, penyanyi wanita gambang kromong, papan atas yang bisa menyanyikannya.

Pada 1949, Kian Soe pernah meminta beberapa grup gambang kromong dan banyak penyanyi memainkan lagu ini, tapi tidak satu pun yang bisa. Meski demikian, Kian Soe cukup gembira karena Lim Tjio San menuliskan not lagu di atas secara lengkap, kecuali Dempok.

Tidak ada yang tahu di mana Tjio San menyimpan partitur ini. Kalaupun ditemukan, mungkin tidak ada lagi yang bisa membaca partitur itu dan memainkannya.

(dikutip dari naskah Teguh Setiawan di rubrik Teraju-Republika)

Sepenggal Sejarah Inggris di Dalam Ironclad


Sejauh manakah Anda mengenal sistem monarki konstitusional di Inggris? Ups, tulisan ini bukan berniat mengajak Anda untuk mengenal tentang seluk beluk sistem pemerintahan. Ya, tulisan ini memang bukanlah sebuah ujian buat Anda! Tetapi jika Anda masih awam tentang monarki konstitusional di Inggris maka film Iron Clad setidaknya akan mengajak Anda untuk selintas memahaminya.

Film indie garapan Jonathan English Ini  menyitir kisahnya dari sebuah peristiwa bersejarah di Inggris. Sebuah penggalan sejarah yang pernah lahir pada abad pertengahan, 1215 Masehi. Pada periode waktu tersebut terlahirlah sebuah kesepakatan penting bernama Magna Carta. Sebuah piagam yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja.

Tapi apakah esensi bersejarah itu akan terasa garing ketika diadaptasikan rangkaian ceritanya ke sebuah film berdurasi 121 menit? Tidak! Jonathan English, Erick Kastel, dan Stephen McDool yang menjadi penulis cerita dan skenario, paham benar tuntutan sebuah film yang menghibur.

Di dalam film ini dihadirkan juga kisah asmara yang terjadi pada seorang ksatria templar Marshall Thomas (James Purefoy) dengan Isabel (Kate Mara). Ksatria templar ini merujuk pada pengertian legiun pasukan perang dan pengawal kepercayaan raja yang ikut serta secara aktif menjadi pasukan Perang Salib.

Lalu yang tak akan kalah membuat adrenalin Anda bakal bergolak, film ini memperlihatkan adegan-adegan kekerasan yang nyaris mendekati nyata. Mari kita bayangkan bagaimana perasaan Anda ketika seorang manusia, bagian kaki dan tangannya dipancung. Lalu dari proses itu diperlihatkan cucuran darah yang terlihat merah segar! Hmm...

Potret-potret kekejaman itu bukanlah sebuah rekaan. Tapi potret itu sepertinya ingin mengajak para penonton bahwa berdiri tegaknya kebebasan atau monarki konstitusional di Inggris itu juga harus diwarnai dengan pengorbanan melalui beragam aksi kekerasan.

Periode brutal dan kegelapan itu ditandai ketika Raja John (Paul Giamatti) berkuasa. Saat itu para bangsawan dan templar melakukan pemberontakan terhadap kelaliman sang raja. Dalam tahapan itu ditandai dengan hadirnya kesepakatan piagam Magna Carta. Tetapi konflik dari film ini dihadirkan ketika Raja John berupaya melakukan aneksasi terhadap benteng Rochester. Benteng ini menjadi tempat strategis untuk bisa menguasai wilayah selatan Inggris.



Usaha aneksasi Raja John itu berlatar amarah setelah ia telah dipaksa untuk menandatangani piagam Magna Carta. Salah satu penandatangan piagam itu adalah Baron Albany (Brian Cox). Albany menentang perilaku raja yang megalomaniak dan haus darah. Ia memimpin aksi pemberontakan terhadap Raja. Ia kemudian mengumpulkan sekelompok prajurit yang mendapat restu dari pemimpin gereja.

Dari sekelompok prajurit itu ada Ksatria Templar yang dihantui rasa bersalah atas kekejaman yang telah ia lakukan selama perang salib. Lalu ada juga Beckett (Jason Flemyng) yang tidak hanya berjuang untuk Tuhan dan negaranya tetapi juga haus darah dan berperang demi mendapatkan bayaran.

Kemudian dari para kelompok prajurit pimpinan Albany itu ada juga tokoh bernama Guy (Aneurin Barnard) yang merasakan bagaimana pengalaman membunuh dan berperang untuk kali pertama dalam hidupnya. Total prajurit yang dipimpin Albany ketika berada di benteng Rochester itu hanya berjumlah 20 personel. Mereka berperang melawan seribu balatentara bayaran Raja John. Pertempuran ini berlangsung cukup lama.

Selama periode perang itulah tersaji beragam adegan-adegan yang boleh jadi membuat Anda bakal menutup mata karena tak kuasa melihat kepingan-kepingan tubuh manusia harus terpisah dari tubuhnya. Tetapi sekali lagi, film ini bukan berniat untuk menjual kekerasan. Namun di balik semua itu, film yang disutradarai oleh Jonathan English ini sarat dengan pesan-pesan humanis seperti pentingnya kesetiaan, keberanian dan tak alpa tentunya; cinta!
n mohammad akbar 

Jumat, 01 April 2011

Nasib Fim Nasional di Simpang Jalan



''Baik buruknya sebuah film bukan tergantung pada filmnya tetapi tergantung pada pembikinnya.'' Sebuah penggalan kalimat itu menjadi penutup dari video dokumenter kehidupan  Usmar Ismail yang di tayangkan pada puncak perayaan Hari Film Nasional ke-61 Balairung Sapta Pesona Kementerian Budaya dan Pariwisata di Jakarta, Rabu (30/3).

Ketika kalimat itu kembali terucap, boleh jadi tubuh Usmar telah berkalang tanah. Tetapi ucapan bapak perfilman Indonesia itu rasanya masih cukup relevan untuk memotret perilaku sebagian pembuat film nasional yang hanya berpikir instan: hanya mencari untung!

Film, yang sejatinya menjadi bagian dari produk kebudayaan, dalam setiap masanya selalu saja dihadapkan pada dilema bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada tuntutan untuk menjadikan film sebagai identitas kebangsaan. Tapi di sisi lain, ada juga tuntutan meraup untung lewat sebuah produk bernama hiburan.

Sebagai sebuah produk hiburan yang hanya berpikir mencari untung, tak jarang para pembuat film terjebak dengan mengabaikan nilai-nilai estetika seni, logika cerita hingga pentingnya kedalaman karakter peran.

''Ini menjadi seperti set back seperti dulu lagi, jika tidak berbuat maka bukan tidak mungkin industri film ini bisa kembali lagi mati suri,'' kritik Deddy Mizwar di sela acara perayaan puncak Hari Film Nasional di Jakarta.

Apa yang diucapkan Deddy ini merujuk pada maraknya film esek-esek dan hantu yang sempat menjadi trend di era 1990-an. Sebagai puncaknya, selama hampir 12 tahun lamanya, industri kreatif layar perak ini kemudian seperti kehilangan darah, tak lagi bergeliat.

Tapi setelah era itu berlalu -- ditandai dengan pembuatan Petualangan Sherina karya Riri Riza pada 2002 -- ternyata kecenderungan untuk kembali lagi mengulang prosesi mati suri mulai ditunjukkan lagi. Jika Anda kerap ke bioskop, boleh jadi Anda akan tersenyum simpul ketika membaca judul-judul film seperti Hantu Seluler, Arwah Goyang Kerawang, Dedemit Gunung Kidul, Hantu Tanah Kusir, Jenglot Pantai Selatan, dan lain sebagainya.


Meski judulnya terdengar absurd, tetapi tak sedikit dari judul-judul itu yang justru meraih jumlah penonton terbanyak. Kerap kali, judul-judul itu meroket jumlah penontonnya setelah berhasil memantik beragam kontroversi. Sebutlah misalnya bagaimana Hantu Tanah Kusir pernah membukukan rekor jumlah penonton terbanyak dalam sepekan pada 2010.

Film produksi Maxima Picture itu 'cukup berhasil' berkat kontroversi tampilnya Maria Ozawa yang bermain dengan nama samaran Pauleen. Sebelumnya Maria Ozawa ini sudah lebih dikenal dengan nama panggung Miyabi. Di negeri asalnya di Jepang, popularitas Miyabi lebih mentereng lewat aksinya di film biru.

Hal yang tak jauh berbeda ternyata juga sempat muncul ketika Dewi Perssik dan Julia Perez beradu akting di film Arah Goyang Karawang. Meski sempat tersiar kabar produser film itu sengaja 'menciptakan' konflik antara DP dan Jupe, namun film itu juga memantik amarah sebagian orang Karawang. Film yang dinilai melecehkan orang Karawang itu akhirnya harus rela berganti judul menjadi Arwah Goyang Jupe-Depe.

Pemerhati film nasional, Yan Widjaja, mengungkap film Arwah Goyang Jupe-Depe ini ternyata menjadi salah satu film yang paling nge-hits penontonnya di sepanjang tahun ini. ''Sampai kini jumlah penontonnya sudah menembus angka 800ribu-an,'' katanya.

Dengan raihan angka sebesar itu, film yang diproduseri oleh Shanker -- sosok yang juga pernah mengundang kontroversi di pentas Festival Film Indonesia 2006 -- sudah cukup untuk menumpuk untung. Yan menakar, film itu hanya berbujet tak lebih dari Rp3 miliar. Sedangkan dengan jumlah penonton yang menembus 800 ribu maka pemasukan yang telah diterima sekitar
Rp5,6 miliar.

Nah terkait dengan segala riuh rendah yang kini meramaikan industri film nasional, Lola Amalia hanya bisa mengelus dada saja. Lola adalah produser sekaligus sutradara. Ia pernah merasakan bagaimana pahit getirnya industri film yang kini tengah berada di simpangan jalan. Film Minggu Pagi di Victoria Park yang digarap serius hingga ke Hongkong ternyata harus gigit jari gara-gara sepinya penonton.

''Kalau dibilang meresahkan, saya merasa bisa demikian. Karena jika film-film seperti itu (film yang hanya menjual hantu dan seks dengan bujet minim) terus dibiarkan, rasanya industri film kita bisa kembali lagi ke masa suram dulu,'' kata Lola.

Saat Hanung Bramantyo Menggugat lewat Film ?




Seperti apakah memaknai kemajemukan etnis dan agama yang ada di negeri ini? Sepantasnya kah kita harus bertengkar hanya karena perbedaan? Dua pertanyaan sederhana ini mungkin saja mudah terucap tetapi kenyataannya negeri ini kerap kali terkungkung oleh satu masalah besar bernama perbedaan!

Hanung Bramantyo, pembuat film yang pernah meraih tropi Citra sebagai Sutradara Terbaik Festival Film Indonsia (FFI) 2005 dan 2007, tergelitik hatinya. Ia berupaya masuk dan coba merekam ulang perbedaan-perbedaan itu dalam kapasitasnya sebagai pembuat film.

Sejatinya, Hanung tak sedang mencela apalagi memancing sengkarut di negeri kita. Tetapi, sineas berusia 35 tahun asal Yogyakarta ini, hanya ingin mengajak kita semua untuk kembali lagi merenung 'masih pentingkah kita berbeda?'

Hasilnya? Sebuah film berjudul ? (baca tanda tanya,red) dihadirkannya. Film ini merupakan produksi perdana dari Mahaka Pictures bekerja sama dengan Dapur Film. Sebuah tanda tanya sengaja diberikan kepada judul film ini karena Hanung memang masih menyimpan tanda tanya besar ketika melihat atas nama perbedaan agama, suku, dan ras, ternyata sebagian anak negeri ini bisa saling bertikai, bahkan juga membunuh.

Mengawali cerita film, Hanung langsung menghadirkan sebuah konflik. Seorang pastur yang tengah menyambut para jemaat di muka gereja ditikam seorang pemuda. Dugaan Anda tak keliru rupanya karena pikiran kita akan digiring  pada tudingan bahwa umat Islam-lah yang telah dengan sengaja melakukannya. Tetapi benarkah demikian?

Setelah memberikan konflik berbau agama, cerita film ini lebih banyak memotret pada lingkup kehidupan yang lebih kecil tetapi cukup menyimpan persoalan pelik di dalamnya. Panggung cerita itu disajikan di salah satu sudut kota tua di Semarang bernama Pasar Baru.

Di sana ada masjid, gereja, dan klenteng. Lalu, untuk membuat cerita ini hidup, Hanung menghadirkan tiga keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi dan suku yang berbeda.

Ada keluarga Tan Kat Sun (diperankan oleh Hengky Sulaeman) yang memiliki restoran Canton Chinese Food. Ia adalah seorang kepala keluarga yang toleran terhadap perbedaan tetapi ternyata menyimpan persoalan dengan putranya, Hendra (Rio Dewanto) dalam menjelaskan betapa pentingnya bertoleransi dengan tetangga yang berbeda agama dan budaya.

Bentuk tolorensi Tan Kat Sun ini, salah satunya ditunjukkan dengan membedakan perkakas memasak untuk makanan tidak halal dan halal serta memberikan libur selama lima hari kepada karyawannya yang Muslim ketika masa Lebaran tiba.

Lalu ada lagi kehidupan sepasang suami-istri, Soleh (Reza Rahadian) dan Menuk (Revalina S Temat). Keduanya adalah warga lokal yang taat pada agamanya. Menuk, perempuan yang digambarkan berjilbab, bekerja sebagai pelayan restoran di keluarga Tan Kat Sun. Sedangkan Soleh, hanyalah seorang kepala keluarga yang labil. Sepanjang hidupnya, ia selalu berupaya untuk mendapatkan pengakuan eksistensi sebagai suami sekaligus kakak bagi adiknya.

Kemudian kehidupan lainnya disajikan pada tokoh bernama Rika (Endhita) dan Surya (Agus Kuncoro). Rika ini berstatus janda satu orang anak. Bagi lingkungan sekitar, Rika dicibir karena keputusannya bercerai serta berganti agama menjadi penganut agama Katolik.

Sementara Agus digambarkan sebagai seorang pemuda muslim yang semasa karirnya sebagai sineas hanya mendapatkan peran figuran. Hingga pada satu titik ia berhasil mendapatkan peran utama. Tetapi kata hatinya beradu apakah ia harus bersedia menerima peran sebagai Yesus pada perayaan malam Paskah dan Natal?

Secara cerita, skenario yang ditulis oleh Titien Wattimena ini cukup kuat. Cerita tersebut juga menjadi apik ketika diperkuat lagi dengan setting lokasi yang ditata rapi sebagai lingkungan urban masa lampau serta pengambilan sudut gambar yang tak mengganggu pandangan.


Sedangkan sebagian besar konflik yang dibangun di dalam cerita ini, seperti diakui Hanung, sebagiannya diinspirasi dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri ini. Salah satunya adalah ketika Soleh mencoba mengamankan perayaan malam Natal.

Soleh yang kala itu sudah mendapat pekerjaan sebagai anggota Banser NU dengan keberaniannya menjadi tameng terhadap bom yang meledak. Hanung sempat mengatakan sosok Soleh ini terinspirasi dari kisah anggota Banser NU bernama Riyanto yang wafat ketika bertugas mengamankan malam Natal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, sepuluh tahun silam.

Tetapi sebagai sebuah karya populer, Hanung tetap tidak mau melupakan bumbu cinta di dalam filmnya. Namun bukan cinta sepasang ABG yang hendak disajikannya. Tetapi cinta di sini bisa juga menjadi universal bagaimana seorang anak mencintai ibunya atau juga hubungan cinta Rika-Surya.

Lalu ada pula api cemburu yang terletup hingga menghadirkan konflik seperti amarah Hendra kepada Soleh. Hendra dan Menuk sebelumnya sempat menjalin kasih. Namun cinta keduanya sempat tak berlanjut ke pelaminan karena perbedaan agama.

Sebelum Soleh dan Hendra menemukan kesadaran bahwa perbedaan itu adalah anugerah, keduanya sering kali beradu mulut dan fisik. Hendra menyebut Soleh sebagai teroris karena streotip bahwa Islam itu kerap berperilaku anarkis. Sedangkan Soleh secara rasial menghardik Hendra sebagai Cina -- sebuah ucapan bentuk kesal yang merujuk pada satu etnis tertentu.

Tetapi segala konflik dan roman cinta yang ada di film ini cukup apik pula dituntaskan menjadi sebuah karya yang happy ending. Dan tak lupa pula, sebagai jawaban atas kegelisahan Hanung sebagai Muslim yang kerap dituding teroris, ia mencoba memberikan jawab atas kegelisihan tersebut. Lewat dialog antara ustad (David Chalik) dan Hendra ketika bertanya tentang Islam, sang ustad menjelaskan bahwa Islam sejatinya adalah agama pembawa rahmat.